Buat kamu yang suka desain grafis atau pecinta manipulasi foto kali ini saya bakal share tentang Download adobe Photoshop CS5 full version yang pastinya terbaru 2012 dan Gratis, memang saat ini Photoshop Cs5 banyak dicari orang dengan itu saya akan berbagi kecintaan saya pada dunia Grafis Berikut Ini adobe Photoshop CS5 full version semoga bermanfaat bagi anda silahkan langsung download dan isntall Software nya berikut ini :
Labels
- Foto (1)
- Free Download (3)
- Ilmu Hukum (15)
- Indahnya Islam (4)
- Informasi (3)
- Kata Bijak (2)
- Kolom P.A (2)
- Sejarah (2)
Jumat, 30 November 2012
Photoshop Cs5
Buat kamu yang suka desain grafis atau pecinta manipulasi foto kali ini saya bakal share tentang Download adobe Photoshop CS5 full version yang pastinya terbaru 2012 dan Gratis, memang saat ini Photoshop Cs5 banyak dicari orang dengan itu saya akan berbagi kecintaan saya pada dunia Grafis Berikut Ini adobe Photoshop CS5 full version semoga bermanfaat bagi anda silahkan langsung download dan isntall Software nya berikut ini :
Dasar-Dasar Hukum Kepailitan
A. Sejarah hukum kepailitan
Hukum kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi. Kata “ bangkrut”, dalam bahasa Inggris disebut “Bangkrupt” , berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca nipta . Sementara itu, di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor.
Bagi Negara-negara dengan tradisi hukum common law, di mana hukum berasal dari Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebu hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris.
Peristiwa ini ditandai dengan diundangkannya sebuah undang-undang yang disebut Act Againts Such Person As Do Make Bangkrup oleh parlemen di masa kekaisaran raja Henry VIII. Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang ngemplang untuk membayar utang sembari menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor secara individual.
Sementara itu, sejarah hukum pailit di AS dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan kongres memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan uniform mengenai kebangkrutan. Hal ini diperdebatkan sejarah diadakannya constitutional convention di Philadelphia pada tahun 1787. Dalam the Federalis Papers, seorang founding father dari Negara Amerika serikat, yaitu James Medison, mendiskusikan apa yang disebut Bankrupcy clause. Kemudian, kongres pertama kali mengundangkan undang-undang tentang kebangkrutan pada tahun 1800, yang isinya mirip dengan undang-undang kebangkrutan di Inggris pada saat itu. Akan tetapi, selama abad ke-18, di beberapa Negara bagian USA telah ada undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitor yang disebut insolvency law. Selanjutnya, undang-undang federasi AS tahun 1800 tersebut diubah atau diganti beberapa kali. Kini di USA hukum kepailitan diatur dalam Bankrupcy.
B. sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia
Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi menjadi tiga masa, yakni:
Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku. Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
1. Wet Book Van Koophandel atau WvK
2. Reglement op de Rechtvoordering (RV)
Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).
Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.
Perkembangan Substansi Hukum
Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.
4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.
5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.
Masa berlakunya Faillisements Verordening. Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
1. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang.
2. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:
1. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,
2. Biaya tinggi,
3. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan
4. Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.
Masa berlakunya Faillisements Verordening . Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556). kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordeningmasih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.31. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
C. PENGERTIAN KEPAILITAN
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
D. DASAR HUKUM (Pengaturan) KEPAILITAN DI INDONESIA
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:
• UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
• UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
• UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
• UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
• Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
• Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)
E. TUJUAN KEPAILITAN
Sebagaimana dikutip oleh Jordan el al. dari buku The Early History of Bankruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E. Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut:20
All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims first, to secure an equitable division of the insolvent debtor's property among all his creditors, and in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law.
Maka dari itu, beberapa tujuannya adalah:
- Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya,
- Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor.
- Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditomya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan et al, tujuan semua Undang-undang Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang Debitor yang tidak cukup nilainya ( "debt collection system.")
Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah:
1. Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa "semua harta kekayaan Debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan Debitor", yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap Debitor. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para Kreditor terhadap harta Debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, maka akan terjadi Kreditor yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada Kreditor yang lemah.
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para Kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara pro-porsional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditor tersebut). Di dalam hukum Indonesia, asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.
3. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor. Dengan dinyatakan seorang Debitor pailit, maka Debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan Debitor menjadi harta pailit.
4. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang Debitor perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para Kreditornya, tetapi Debitor tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada Debitor tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitor tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. Menurut US Bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan bagi Debitor pailit perorangan saja, sedangkan bagi Debitor badan hukum financial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan Debitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.
Menurut UU Kepailitan, financial fresh start tidak diberikan kepada Debitor, baik Debitor perorangan maupun Debitor badan hukum setelah tindakan pemberesan oleh Kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan Debitor selesai dilakukan oleh Kurator dan ternyata masih terdapat utang-utang yang belum lunas, Debitor tersebut masih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya. Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai dilakukan oleh Kurator, Debitor kembali diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya Debitor boleh kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi Debitor tetap pula berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas itu.
5. Menghukum Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam Undang-undang Kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan KUH Pidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu di-muat di dalam Undang-undang Kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986P.
6. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para Kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang Debitor. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam Undang-undang Kepailitan Indonesia kesempatan bagi Debitor untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para Kreditornya diatur dalam BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Definisi Kriminologi Menurut Para Ahli Hukum
Definisi-definisi kriminologi
W.A Bonger (1970) memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” (Bonger, 1970:21). Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek:
1. kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya.
2. kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi.
Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).
1. Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam.
2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya.
4. Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.
5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan manfaat penghukuman.
6. Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi dalam menanggulangi kejahatan.
7. Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan
Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.
Sutehrland dan Cressey (1974) memberi batasan kriminologi sebagai bagian dari sosiologis dengan menyebutkan sebagai:
”Kumpulan pengetahuan yang meliputi delinkuensi dan kejatahan sebagai gejala sosial. Tercakup dalam ruang lingkup ini adalah proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan interaksi yang berkesinambungan. Tindakan-tindakan tertentu yang dipandang tidak disukai oleh para politisi (political society) didefinisikan sebagai kejahatn. Kendatipun ada batasan tindakan tersebut, terdapat orang-orang yang terus-menerus melanggarnya dan dengan demikian melakukan kejahatan; politisi memberikan reaksi berupa penghukuman, pembinaan, atau pencegahan. Urutan interaksi inilah yang merupakan pokok masalah dalam kriminologi” (Sutherland, Cressey, 1974:1)
Berlandaskan pada definisi di atas, Sutherland dan Cressey menjelaskan bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yiatu: (a) sosiologi hukum, (b) etiologi kriminal, (c) penologi (termasuk metode pengendalian sosial.
/Sementara itu, Taft dan England merumuskan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Istilah kriminologi dipergunakan dalam pengertian secara umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian yang luas, kriminologi adalah kajian (bukan ilmu yang lengkap) yang memasukkan ke dalam ruang lingkupnya berbagai hal yang diperlukan untuk memahami dan mencegah kejahatan dan diperlukan untuk pengembangan hukum, termasuk penghukuman atau pembinaan para anak delinkuen atau para penjahat, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Dalam pengertian sempit, kriminologi semata-mata merupakan kajian yang mencoba untuk menjelaskan kejahatan, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Apabila yang terakhir, yaitu pengertian sempit diterima, kita harus mengkaji pembinaan pelaku kejahatan yang dewasa, penyelidikan kejahatan, pembinaan anak delinkuen dan pencegahan kejahatan” (Taft, England, 1964: 11)
Herman Manheim, orang Jerman yang bermukim di Inggris memberikan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Kriminologi dalam pengertian sempit…, adalah kajian tentanga kejahatan. dalam pengertian luas juga termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana” (Manheim, 1965: 3)
Menurut Manheim, kajian terhadap tingkah laku jahat dapa disimpulkan terdiri dari tiga bentuk dasar:
1. Pendekatan deskriptif… pengamatan dan pengumpulan fakta tentang pelaku kejahatan.
2. Pendekatan kausal… penafsiran terhadap fakta yang diamati yang dapat dipergunakan untuk mengetahui penyebab kejahatan, baik secara umum maupun yang terjadi pada seorang individu.
3. Pendekatan normatif… bertujuan untuk mecapai dalil-dalil ilmiah yang valid dan berlaku secara umum maupun persamaan serta kecenderungan-kecenderungan kejahatan.
Selanjutnya definisi yang diberikan oleh Walter Reckless:
“Kriminologi adalah pemahaman ketertiban indiveidu dalam tingkah laku delinkuen dan tingakah laku jahat dan pemahaman bekerjanya sistem peradilan peidana. Yang disebut pertama, yaitu kajian keterlibatan, mempunyai dua aspek: (1) kajian terhadap si pelaku, dan (2) kajian tingkah laku dari si pelaku, termasuk korban manusia. Yang disebut kedua, memperhatikan masalah (1) masuknya orang dalam sistemperadilan pidana pada setiap titik, dan parale; serta (2) keluaran daru produk sistem peradilan pidana dalam setiap titik perjalanan” (Reckless, 1973: v)
Defisni selanjutnya adalah definisi yang diberikan oleh Elmer Hubert (1968), yaitu:
“Kriminologi adalah kajian ilmiah dan penerapan praktis penemuan-penemuan di lapangan:
(a) sebab musabab kejahatan dan tingkah laku jahat serta etiologi,
(b) ciri-ciri khas reaksi sosial sebagai suatu simtom ciri masyarakat, dan
(c) pencegahan kejahatan” (E. H. Johnson, 1968: 13)
Kriminologi menurut Johnson adalah bentuk pendekatan diagnostik yang diperlukan untuk suatu treatment (pengobatan/pembinaan)secara klinis.
/Haskell dan Yablonsky (194) menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi:
1. Sifat dan tingkat kejahatan
2. sebab musabab kejahatan dan kriminalitas
3. perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana
4. ciri-ciri kejahatan
5. pembinaan pelaku kejahatan
6. pola-pola kriminalitas
7. dampak kejahatan terhadap perubahan sosial (Haskell, Yablonsky, 1974: 3)
David Dressler, yang mengaitkan kriminologi dengan kajian komparatif yang bersifat dasar, memberikan definisi sebagai berikut:
”Pemahaman utama dari kriminologi adalah pengumpulan data tentang etiologi delinkuensi dan kejahatan. Apa yang menyebabkan orang berubah menjadi pembunuh atau perampok? Mengapa seseorang melakukan kejahatan sementara orang lain tetap menjadi warga yang tunduk hukum?… Kajian kriminologi ingin mengetahui “Apakah yang mejadi peneyebab dari delinkuensi dan kejahatan?” (Dressler, 1972: 245-246)
Gibbons memberikan definisi yang menekankan pada aspek analisa objektif kriminologi, yaitu sebagai berikut:
”Kajian ilmiah tentang pelanggaran hukum dan usaha sunggun-sungguh untuk menyingkap penyebab kriminalitas pada umumnya telah dilakukan di wilayah yang dinamakan kriminologi, yang memberi perhatian pada analisa objektif tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Dalam ruang lingkupnya kriminologi memasukkan pencarian yang berkaitan dengan proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum” (Gibbons, 1977: 3)
Richard Quinney sebagai seorang tokoh kriminologi baru dan kriminologi kritis, memberikan definisi sebagai berikut:
”[kriminologi baru adalah] suatu pemahaman kejahatan dengan menyajikan secara bolak-balik antara kebijakan konvensional tentang kejahatan dengan konsep baru yang menegasikan gagasan tradisional…[Kami akan] meliputi beraneka fase kejahatan: dari sistem hukum dalam teori hingga realitas sosial warga masyarakat, dari dunia penjahat hingga ke otoritas legal, dari pendekatan tradisional da;am pengendalian kejahatan hingga gagasan radikal tentang keberadaan sosoial” (R. Quinney, 1975: 13)
Definisi yang diberikan oleh Quinney tersebut merupkan kritik terhadap apa yang dikatakan sebagai kriminologi konservatif dan kriminologi konvensional. Dalam membahas kriminologi, Quinnet juga memperkenalkan gagasan penomenologi, yaitu ilmu pengetahuan ilmiah tentang manusia dan pengalaman reflektifnya dalam kehidupan nyata).
Vernon Fox memberikan definisi kriminologi secara komperhensif dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa kriminologi adalah:
”Kajian tentang tinkgah lku jahat dan sistem keadilan. Ini meruoakan kajian tentang hukum, dan pelaku planggaran hukum. Pemahaman terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai disiolin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik.
Tingkah laku jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain pendekatan sosial dan tingkah laku.
Politik mendefinisikan sistem peradilan pidana melalui perundang-undangan dan penerapan kebijakan publik dalam hukum dan penegakan hukum.
Oleh karena itu, tingkah laku jahat dan sistem keadilan menjadi pusat dari berbagai disiplin dan pendekatan yang memberi perhatian pada kejahatan dan masyarakat” (V. Fox, 1976: 388)
Departemen Kriminologi FISIP UI melandaskan diri dalam mempelajari kriminolgi pada sosiologi, dan mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial. Dengan kata lain, ciri-cirinya dapat diidentifikasikan menurut konsep sosiologis. Timbulnya gejala kejahatan ditelusuri dari bekerjanya masyarakat. Dengan demikian berbagai faktor sosial seperti proses sosialisasi nilai dan norma sosial, kohesi sosial, pengendalian sosial, sturuktur sosial, kebudayaan, disintegrasi sosial, keadilan sosial, ketidakadilan sosial dan lain-lainnya diteliti tingkat pengaruhnya terhadap munculnya peristiwa-peristiwa kejahatan.
Sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari kriminologi adalah pola, yang bertujuan agar dapat diketahui keteraturan-keteraturan dari timbulnya peristiwa kejahatan di masyarakat.
/Brantinghams (1984) memberikan suatu hipotesis sebagai berikut:
”The purpose of studying crime patterns over time is to discover regularities that aid one in understanding the phenomenon of crime” (Brantinghams, Brantinghams, 1984: 93)
“Tujuan mempelajari pola kejahatan sepanjang waktu adalah untuk menemukan keteraturan yang membantu dalam pemahaman terhadap gejala kejahatan”
/Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang berakar pada sosiologis.
“…kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah tentang: a) peruusan sosial pelanggaran hukum, penyimpangan sosial, kenakalan, dan kejahatan; b) pola-pola tingkah laku dan sebab musabab terjadinya pola tingkah laku yang termasuk dalam kategori penyimpangan sosial, pelanggar hukum, kenakalan, dan kejahatan yang ditelusuri pada munculnya suatu peristiwa kejahatan, seta kedudukan dan korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat; d) pola reaksi sosial formak, informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan. Dalam pengertian tersebut termasuk melakukan penelitian ilmiah terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia, serta usaha Negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial” (Muhammad Mustofa, 2007: 14)
Soedjono Dirjosisworo (1976 : 24) memberikan definisi kriminologi adalah :
Pengetahuan yang mempelajari sebab dan akibat, perbaikan maupun pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan secara lebih luas lagi.
Sedangkan G.P. Hoefnagel (Mulyana W. Kusuma : 1984), mengemukakan, bahwa :
Kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan empiris yang untuk sebagian dihubungkan dengan norma hukum yang mempelajari kejahatan serta proses-proses formal dan informal dari kriminalitas dan deksiminalisasi, situasi kejahatan-penjahat-masyarakat, sebab-sebab dan hubungan sebab-sebab kejahatan serta reaksi-reaksi dan respon-respon resmi dan tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat dan masyarakat oleh pihak di luar penjahat itu sendiri.
Paul Moedigdo Meoliono (Topo Santoso,2003:11) memberikan definisi kriminologi:
Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala sosial. Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna kejahatan jelas, perlu memahami eksistensi manusia.
Wolffgang Savita dan Jhonston dalam The Sociology of Crime and Deliquency (Topo Santoso, 2003 :12) memberikan definisi kriminologi sebagai berikut :
Kriminolgi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan pengertian mengenai gejala kejahatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan, pelaku kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Michael dan Adler (Topo Santoso, 2003 :12), mengemukakan bahwa definisi kriminologi adalah :
Keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada perlakuan secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggta masyarakat
• Mulyono (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia.
• Wood (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat dan,termaksud didalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.
• Noach (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
• Wolfgang (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengartian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan,pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya
.
Effendy (1986 : 10) mengatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan itu sendiri yang tujuanya adalah mempelajari apa sebab-sebab sehingga seseorang melakukan kejahatan dan apa yang menimbulkan kejahatan itu. Apakah kejahatan itu timbul karena bakat orang itu adalah jahat atau disebabkan karena keadaan masyarakat sekitarnya baik keadaan sosiologis maupun ekonomis.
Rabu, 28 November 2012
DEFINISI HUKUM PERDATA MENURUT PARA AHLI
Beberapa Definisi yang menjadi acuan untuk mendefinisikan Hukum Perdata yaitu :
1. Van Dunne
hukum perdata, khususnya pada abad ke-19 adalah: “Suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”.
2. H.F.A. Vollmar
berpendapat bahwa hukum perdata adalah: “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
3. Sudikno Mertokusumo
mengartikan hukum perdata sebagai berikut: “Hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak”.
4. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
“Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.”
5. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
“Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya“.
6. Prof. R. Soebekti, S.H.
“ Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.”
7. Prof H.R Sardjono, SH
Hukum Perdata adalah kaidah-kaidah yang menguasai manusia dalam masyarakat dalam hubungannya terhadap orang lain dan hukum pada dasarnya menguasai kepentingan perseorangan.
8. Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH
Hukum Perdata sebagai suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pergaulan kemasyarakatan atau hukum yang mengatur kepentingan perseorangan
9. Dr. Ibrahim As- Sholihi
dalam bukunya Ad Dirosat Fi Nadzoriyat Al Qonun mengatakan bahwa hukum perdata adalah kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar individu yang dalam hubungan itu individu tersebut tidak berperan sebagai sebagai pemegang kedaulatan kecuali (yang tidak termasuk hukum perdata) beberapa hal yang yang menjadi objek hukum lain yang termasuk bagian hukum privat.
10. Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH.
Guru besar dalam sosiologi hukum pada Fakultas Hukum,Universutas Diponegoro, Semarang mendefisikan hukum perdata sebagai sebuah hukum yang mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan anatara sesama warga (Negara dalam hal-red) perkawinan,kewarisan dan perjanjian.
Selasa, 27 November 2012
Bentuk Perkawinan Adat Ternate
BENTUK PERKAWINAN ADAT TERNATE
Perkawinan Adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat setempat.
Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
1. LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI (=Meminang/Kawin Minta)
2. WOSA SUBA (=Kawin Sembah)
3. SICOHO (=Kawin Tangkap)
4. KOFU’U (=Dijodohkan)
5. MASIBIRI (=Kawin Lari)
6. NGALI NGASU (=Ganti Tiang)
Meminang / Kawin Minta (Lahi se Tafo atau Wosa Lahi)
Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang sangat populer dan dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat, karena selain berlaku dengan cara terhormat yakni dengan perencanaan yang telah diatur secara matang dan didahului dengan meminang juga karena dilakukan karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan juga dianggap paling sah menurut Hukum Adat. Pelaksanaan rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara ; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha (Lihat Artikel sebelumnya), dan disertai dengan acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka status/strata sosial dalam masyarakat bisa terangkat.
Kawin Sembah (Wosa Suba)
Bentuk perkawinan Wosa suba ini sebenanrnya merupakan suatu bentuk penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan terlebih dahulu membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”. Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa lahi sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin ataupun ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.
Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni :
Toma Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke dalam untuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar dikawinkan.
Toma Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.
Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.
Bentuk perkawinan “Wosa Suba” ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi Ternate saat ini karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini kurang terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki.
Kawin Tangkap (Sicoho)
Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas norma susila. Dalam kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku pada masyarakat Ternate. Perkawinan bentuk ini dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini masih sering ditemui di Ternate.
Dijodohkan (Kofu’u)
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka. Bentuk perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri” atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam masyarakat Ternate.
Kawin Lari (Masibiri)
Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok soa yang tidak boleh kawin-mawin.
Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin Cowboy”. Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah secara Islam. Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah “Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk mtinggal beberapa hari. Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang berada di rumahnya. Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk mengurusnya.
Bentuk perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak ditempuh oleh anak muda Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah tangga bila tidak direstui oleh orang tuanya.
Ganti Tiang (Ngali Ngasu)
Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau suaminya meninggal duni maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si siteri atau kakak atau adik dari si suami suami. Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak lain. Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.
5. UPACARA PERKAWINAN
Sigado Salam
Proses tata cara perkawinan adat Ternate diawali dengan menyampaikan salam atau dalam bahasa Ternate disebut Sigado Salam. Salam dimaksud disampaikan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan. Disaat sigado salam dari pihak laki-laki yang biasanya diwakili oleh anggota keluarga tertua atau pemangku adat sebagai utusan dengan maksud sehari dua pihak keluarga mempelai laki-laki dalam watu satu atau dua hari nanti akan dating bertamu ke rumah mempelai perempuan.Setelah mendengar salam yang disampaikan dari utusan mempelai laki-laki, maka dengan rasa hormat dari pihak mempelai perempuan menyambut salam dari utusan mempelai laki-laki bahwa salam mereka telah terima.
Wosa Lahi
Setelah melalui proses Sigado Salam maka pihak mempelai laki-laki melakukan persiapan pada acara Masuk Minta atau Wosa Lahi. Makna wosa lahi atau masuk minta secara harfiah berarti melamar.meminang. Lamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dengan mengutus sesepuh atau keluarga tertua atau kerabat yang memiliki ikatan keluarga yang diserahi tugas sebagai utusan, utusan ini dalam bahasa Ternate disebut dengan Baba Se Ema Yaya Se Goa. Setelah tiba pada hari yang telah ditentukan¸utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari keluarga mempelai laki-laki menuju ke rumah calon mempelai perempuan. Maka dari pihak mempelai perempuan dengan kabasaran mengangkat Subah(salam) untuk menerima kehadiran utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari mempelai laki-laki, sebelum mengadakan kesepakatan, pihak mempelai perempuan menyuguhkan pinang dan sirih yang melambangkan ikatan keharmonisan dan saling menghargai dari kedua keluarga tersebut. Setelah upacara makan pinang dan sirih, utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya. Yaitu meminang salah satu anak perempuan dari keluarga tersebut. Sekaligus mohon penjelasan dan jawaban dari pihak calon mempelai perempuan. Setelah mendengar maksud kedatangan utusan pihak tersebut pihak keluarga calon mempelai perempuan yang menyetujui dan merestui maksud dan tujuan utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa, secara bersama-sama menentukan waktu untuk antar belanja atau yang dikenal dalam bahasa Ternate disebut harga pinang dan sirih, serta penentuan hari dan bulan perkawinannya.
Kata Bido Se Hana Ma Ija
Mengantarkan belanja dalam bahasa Ternate kata bido se dufahe maija dari utusan calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan disaat prosesi masuk minta atau wosa lahi. Antar belanja atau kato bido se hena maija yang dilakukan oleh baba se ema yaya segoa dari utusan calon mempelai laki-laki, dengan mengandung makna bahwa bido sedufahe maija merupakan permintaan dari pihak memeplai wanita yang menyangkut dengan kebutuhan dalam prosesi perkawinan dengan segala macam perjanjian yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki menjelang upacara perkawinan
Fere Wadaka
Setelah mengantarkan belanja maka proses perkawinan diawali dengan upacara naik wadaka atau dalam bahasa Ternate disebut Fere Wadaka. Fere Wadaka secara harfiah memiliki makna bahwa sebelum dilangsungkan acara perkawinan maka calon pengantin utamanya mempelai perempuan melakukan tapak diri(naik lulur) yakni calon pengantin dipingit beberapa hari dalam kamarnya sambil dilulur dengan bedak tradisional, kemudian dilakukan pensucian diri hingga tibanya acara kata rorio yaya segoa.
Kata Rorio/Yaya Segoa
Kata rorio yaya segoadilakukan pada malam hari menjelang hari pernikahan, acara ini dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai, kerabat dan handaitolan dengan maksud menjenguk dan memberikan restu atas kelangsungan pernikahan dari mempelai dengan membawa bantuan apa adanya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Makna yang terselip pada acara kata rorio yaya segoa adalah memeperat tali silaturahmi atau sidoa gia yang tulus tanpa paksaan dari keluarga dan handaitolan.
Hodo Jako
Hodo jako atau mandi dari tiga tabung bambu dilakukan pada waktu subuh menjelang hari pernikahan, sebelum mandi jako dilakukan mempelai telah melakukan naik wadaka terlebih dahulu dengan melulurkan seluruh tubuh dengan bedak tradisional yang diakhiri dengan mandi jako, dengan menggunakan lesa-lesa(piring besar), daun pohon bulahyang yang melambangkan mahligai rumah tangga, hate jwa dan kano-kano(sejenis ilalang besar) yang melambangkan kesuburan rumah tangga yang akan dibangun, mayang pinang yang melambangkan kehidupan rumah tangga yang utuh seperti tangkai mayang dan buah kelapa melambangkan pengertian bersama dari kedua suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga serta tiga buah tabung bambu, dari sumber mata air yang berbeda yang melambangkan kepatuhan dan pengabdian kita kepada sang pencipta, agama dan penuh rasa kemanusiaan.
Upacara Ijab Kabul
Upacara ini dilangsungkan di kediaman mempelai pria, yang sudah mengenakan pakaian pengantin secara lengkap yaitu destar, jubah, dan gamis, dlengkapi dengan keris yang diselipkan di pinggang bagian depan. Disesuaikan dengan perubahan zaman, pengantin pria sekarang mengenakan selop sebagai alas kaki. Sedangkan pengantin wanita yang tinggal di rumahnya sendiri memakai koci-koci, terdiri dari pasangan sarung dan semacam baju kurung yang diberi ikat pinggang, berselendang dan di bagian lehernya dihiasi semacam penutup yang melingkar menutupi pundak hingga punggung. Ditinjau dari bentuk hiasan kepalanya, dapat dikatakan bahwa hal ini sudah dipengaruhi oleh kebudayaan cina.
Jenis pakaian pengantin yang dikenakan pada asal mulanya ditentukan oleh tingkatan derajat dari pengantin. Namun tentu saja peraturan semacam ini sudah tidak berlaku lagi. Setiap pasangan yang akan menikah berhak untuk memilih jenis pakaian yang akan mereka kenakan sesuai selera mereka masing-masing.
Usai upacara ijab kabul, kedua mempelai diantar ke rumah mempelai wanita oleh kerabat, handai tolan dan teman-teman dekat pria maupun wanita. Dan pada kesempatan ini pihak keluarga mempelai pria membawa hantaran peralatan adat yang disebut ngale-ngale yang dimaksudkan sebagai barang-barang persembahan bagi mempelai wanita (semacam upacara seserahan dalam adat Sunda) yang terdiri dari:
• Kai Ma Ija (mas kawin) berupa sejumlah uang atau seperti yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak) dibungkus kantung putih yang dijahit rapat, diibaratkan sebagai kemurnian kehormatan mempelai wanita. Kemudian kantung berisi uang tersebut dimasukkan dalam kotak yang dilapis kain putih, melambangkan bahwa mempelai wanita berasal dari naungan keluarga baik-baik. Pembawa kotak berisikan uang yang diletakkan di atas baki dengan penutup kain sutera ini adalah seorang gadis kecil yang didandani dengan pakaian adat.
• Gogoro Ma Pake: baki yang diisi dengan perlengkapan wanita dan perhiasannya antara lain 1 helai kain sutera, 1 helai kebaya sutera, 1 helai kerudung putih, 1 set perhiasan dari emas atau perak (giwang, kalung, cincin, bros dan lain-lain). Juga kini dilengkapi dengan sepasang selop.
• Kaha Ma Jojobo, yang terdiri dari: 1 rumpun rumput fartogu dengans edikit tanahnya, 1 botol (carrave) air murni (dari sumur), sebuah piring dari beling berwarna putih berisikan segenggam beras yang telah diberi warna kuning, putih, dan merah (beras populak), yang berarti adanya umat manusia yang beraneka warna/ragam, bunga dari lilin yang berarti sinar kasih abadi atau yang dimaksud sebagai lambang penerangan abadi dalam hidup kedua mempelai.
Semua barang ini pun diletakkan diatas baki. Setelah iring-iringan mempelai pria tiba di depan rumah mempelai wanita, dimulai pula rangkaian upacara selanjutnya yang disebut:
Gere Se Doniru yang diawali dengan:
• Upacara yang dilangsungkan begitu iringan mempelai pria tiba di pintu depan rumah dan pintu kamar mempelai wanita yang dihalangi oleh beberapa pemuda pemudi yang disebut Fati Ngara yang harus di "bujuk" dengan "ngara mo ngoi" taburan uang receh sesuai dengan kemampuan oleh pemuda pemudi pengiring mempelai pria, kepada Fati Ngara agar mereka berkenan membukakan pintu rumah mempelai wanita. hal yang sama akan diulang lagi di muka pintu pintu kamar mempelai wanita.
• Jika mempelai pria beserta rombongan berhasil melalui kedua pintu tadi, maka mereka akan tiba dimuka mempelai wanita yang didudukkan di pelaminan dengan bertiraikan kelambu. Kelambu baru akan dibuka setelah iringan mempelai pria menaburkan uang receh yang disebut "Guba Ma Ngoi".
• Upaca memberi uang dilaksanakan kembali pada waktu mempelai pria akan membuka kukudu (penutup kepala) mempelai wanita, dan upacara ini disebut Ngongoma Bubi. Dilanjutkan pengusapan ubun-ubun mempelai wanita, dengan telapak tangan kanan mempelai pria lambang tanda penerimaan yang sah dari suami terhadap istrinya. Aati lain dari gerakan ni adalah saling membatalkan "wudhu" yang dilakukan kedua mempelai guna melakukan shalat, sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Kemudian disambungkan dengan mendudukan mempelai pria di sebelah kiri wanitanya, sehingga kedua sejoli duduk berdampingan. Sesudah itu keris yang terselip di pinggang pria diambil dan dihunus dari sarungnya. Sarung keris diletakkan di pangkuan mempelai wanita dengan tangan kirinya tetap menggenggamnya, sedang tangan kanan menggenggam hulu keris yang diletakkan di pangkuannya sendiri. Tindakan ini melambangkan penyerahan jiwa untuk sehidup semati dari kedua belah pihak.
Paha Ngomgoma
Setelah melewati tradisi fati ngara atau pele pintu pihak mempelai laki-laki memasuki kamar mempelai wanita sekedar meletakkan tangan di atas ubun mempelai wanita yang memiliki makna bahwa mempelai pria dan wanita dengan sah menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pemberian mas kawin oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan upacara joko kaha dengan mempergunakan rumput fartagu yang terletak di atas sebuah piring yang melambangkan kehidupan dan kebahagian yang akan dijamah oleh kedua mempelai, sedangkan sebotol air yang disiram pada kedua kaki mempelai yang melambangkan keteduhan dan kesejukan kehidupan yang menjadi sandaran bagi kedua mempelai dan pupulak yang terdiri dari beras kuning, beras merah dan beras hijau melambangkan bermacam-macam suku yang menjadi sahabat dan kenalan bagi kedua mempelai
Suba Yaya Baba
Setelah melakukan paha ngoma dan penyerahan mas kawin kedua mempelai melakukan subah yaya se baba yaitu melakukan sembah sujud kepada kedua orang tua sekaligus melepaskan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka.
Saro-saro
Acara tradisi perkawinan Ternate yang sangat menarik perhatian adalah upacara Saro-saro upacara yang dilakukan oleh ibu-ibu atau yang dikenal dengan yaya segoa ini. Setelah kedua mempelai menjalani prosesi pernikahan kemudian menempati tempat yang telah disediakan untuk upacara saro-saro, upacara ini diawali dengan subah(salam) dari kedua mempelai kemudian dilanjutkan dengan upacara saro yang diawali dengan saro srikaya yang melambangkan budi pekerti yang harus ditunjukan oleh kedua mempelai, saro nanas yang melambangkan kesetiaan sang istri terhadap suami, dan saro kobo yang melambangkan sifat suami yang bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Acara saro-saro ini merupakan bentuk doa atau permintaan yang sifatnya ritual dengan makna yang filosofis mengandung symbol dalam bentuk pangan atau dalam bahasa Ternate disebut ngale secara yang disuguhkan kepada kedua mempelai dengan ciri khas dan sifat-sifat yang melekat pada diri manusia dan alam sekitarnya. Saro-saro merupakan tradisi perkawinan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Moloku Kie Raha
Ngogu Adat
Ngogu adat atau makanan adat ini disuguhkan pada acara perkawinan masyarakat Moloku Kie Raha yang merupakan ungkapan rasa syukur dalam bentuk cara sengale dalam pelaksanaan hajatan perkawinan. Makanan adat Ternate yang kita kenal saat ini dibagi dalam dua bentuk yait Dodego nunau I yaya segoa dan Dodego foheka mi yaya segoa. Kedua bentuk tersebut pada prinsipnya memiliki makna yang sama akan tetapi secara harfiah makna sesungguhnya dari dodego foheka mi yaya segoa adalah melakukan saro-saro dari kedua mempelai sedangkan dodego nanau I yaya segoa yang terdiri dari para pemangkut adat, imam, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para undangan yang menerima salam atau koro bersama-sama membacakan doa dan dilanjutkan dengan suguhan makanan adat, yang terdiri dari sepuluh potong nasi jaha atau pali-pali yang melambangkan armada laut(juwanga), dada atau kukusang(nasi tumpeng) demokrasi dan kesatuan, ikan dan terong melambangkan cing se cingare(kehidupan lelaki dan perempuan), gulai melambangkan kekayaan laut dan daratan, bubur kacang hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran srikaya melambangkan budi pekerti dan tata karma masyarakat Ternate dan empat buah boboto melambangkan kekuatan empat momole.Dari sajian makan adat tersebut pada umumnya disajikan dalam satu paket atau dalam bahasa Ternate disebut ngogu rimoi dibagi empat orang gogoro(undangan) yang hadir mengikuti upacara tersebut. Prosesi perkawinan adat Ternate yang dilakukan secara turun temurun, yang tetap lestari dan hidup di masyarakat merupakan nilai budaya daerah yang perlu dijaga keutuhannya sebab nilai budaya daerah merupakan aset budaya bangsa.
Upacara Suba Kie Se Kolano
Dilakukan dengan menghadapkan kedua mempelai ke empat penjuru: Barat, Timur, Utara dan Selatan sebagai tanda penghormatan kepada kolano negeri dan sumber angin. Setelah upacara-upacara adat selesai, tamu dipersilakan makan, lalu acara berlanjut dengan menari bersama diiringi musik tradisional dan nyanyian rakyat Maluku Utara yang bernada gembira. Para tamu yang hadir dalam acara ini turut pula berpartisipasi.
6. WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
Menurut hukum kewarisan islam, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang dapat menjadi ahli warisorang lain.
1. Penyebab utama adalah hubungan darah atau kekerabatan
a. Ke bawah: anak-anak baik laki-laki maupun perempuan serta keturunannya
b. Ke atas: orang tua baik ibu atau ayah dan yang menurunkannya
c. Kesamping: anak ayah atau anak ibu,anak nenek atau kakaek, sambung menyambung satu dengan yang lain menentukan jarak dekatnya hubungan masing-masing dengan pewaris.
2. Hubungan perkawinan.
Hukum perkawinan merupakan penyebab seseorang menjadi ahli waris orang lain. Dalam hal ini suami isteri. Disamping hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi ahli waris, ada juga hal yang menghalangi seseorang menjadi ahli waris seseorang. Kendatipun ia termasuk dalam kedua kategori penerima ahli waris. Penghalang seseorang menjadi ahli waris:
1. Pembunuhan yang dilakukan oleh calon ahli waris terhadap pewaris.
Dalam sistem kewarisan islam melarang pengalihan harta peninggalan seseorang kepada ahli warisnya secara terpaksa, apalagi dengan cara kejidiluar proses yang lazim yaitu kematian biasa.
2. Perbedaan agama.
Perbedaan agama merupakan halangan untuk saling mewarisi. Orang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang bukan muslim begitu sebaliknya.
3. Kelompok keutamaan dan hijab.
Prinsip keutamaan adalah prinsip yang menentukan jarak dekatnya seseorang dengan pewaris.
a. Kelompok keutaman yang pertama
Misalnya: kelompok 1 bergabung anak-anak dengan orang tua, kelompok 2 saudara-saudara pewaris. Dalam hukum islam jelas hubungan anak dan orang tua yang paling dekat dengan pewaris.
b. Kelompok keutaman yang kedua
Hubungan perkawian yang menjadi ahli waris adalah suami atau isteri yang masih hidup.
Hijab menurut etimologi adalah menutup atau halangan. Menurut hukum islam hijab berarti terhalang atau tertutupnya seseorang menjadi ahli waris karena ada ahli waris lain yang lebih berhak. Ada 2 macam hijab:
1) Hijab penuh
Hijab penuh adalah tertutupnya hak kewarisan seseorang secara menyeluruh.Misal: nenek terhalang oleh ibu, cucu terhalang anak.
2) Hijab tak penuh atau hijab kurang
Berkurangnya perolehan ahli waris dalam kasus tertentu, dalam kasus tertentu. Misal: ibu yang dihijab oleh anak cucunya bagianya menjadi berkurang dibandingkan tidak dihijab, bagian yang diterima sebelum dihijab sepertiga kalau dihijab menjadi seperenam.
Ada tiga unsur dalam islam yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seseorang sebagaimana mestinya.
1. Pewaris
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu untuk keluarga yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari pewaris tidak berhak menentukan siapa yang berhak mendapat warisan, berapa banyak, dan bagaimana cara mengalihkannya. Sebab, semuanya telah diatur oleh Allah dan secara pasti yang wajib dilaksanakan.
2. Harta warisan atau harta peninggalan
Harta warisan atau harta peninggalan adalah Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang sepenuhnya milik pewaris. Sedangkan benda yang sepenuhnya bukan milik pewaris tidak dapat tidak dapat dialihkan menjadi milik ahli waris. Mengenai hutang ahli waris tidak berhak membayar hutang-hutang pewaris dengan harta pribadinya jika hutang- hutang melebihi harta yang diwariskan, namun orang muslim sering membayar hutang-hutang pewaris hingga semuanya sah.
3. Ahli waris
Ahli waris merupakan orang yang berhak mendapat harta peninggalan dari pewaris atau orang yang sudah meninggal. Disamping karena hubungan darah dan perkawinan ada beberapa syarat agar seseorang dapat menjadi ahli waris yaitu:
a) Masih hidup saat pewaris meninggal
b) Tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris
c) Tidak tertutup ahli waris yang utama
Perincian pokok ahli waris menurut hubungan darah: Anak laki-laki atau perempuan, Cucu baik laki-laki atau perempuan, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, Saudara laki-laki atau perempuan seayah atau seibu, Anak saudara, Paman, Anak-anak paman
Sedangkan karena hubungan perkawinan adalah suami isteri. Kedudukan suami isteri dalam ahli waris diatur dengan tegas dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 12.kewarisan karena hubungan ini tidak menyebabkan hak kewarisan apapun bagi kerabat suami atau isteri. Ada 2 macam ahli waris dalam hukum islam,
1. Ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya (zul fara’id)
Ahli waris yang sudah ditentkan secara pasti bagianya, setengah, seperempat, , seperdelapan, sepertiga, dua pertiga seper enam.
2. Ahli waris yang tidak ditentukan bagianya
Ahli waris yang memperoleh bagian tertentu dalam keadan tertentu, atau yang mendapat sisa harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara’id dengan pembagian yang bersifat terbuka. Misal : didalam Al-Qur’an disebutkan kewarisan anak laki-laki tetapi tidak dirinci jumlahnya.
Dalam hukum kewarisan islam ada berbagai langkah atau cara untuk menyelesaikan pembagian warisan secara tuntas. Sebelum warisan dibagi, ada persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu,
1. Soal-soal yang berhubungn dengan pengurusan jenasah hingga pemakaman,
2. Menyelesaikan pembayaran hutang, baik hutang kepada Allah yang berupa nazar, zakat, dan hutang kepada sesama manusia.
3. Menyelesaiakan wasiat pewaris. Batas wasiat telah diatur oleh nabi Muhammad yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan.
Dalam pembagian harta warisan harus menggunakan teknik tertentu seperti dibagi habis seperti ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad. Jika dalam pembagian terdapat sengketa maka baiasanay diselesaikan oleh pengadilan. Dalam hukum islam yang berhak menyelesaikan sengketa adalah pengdilan agama. Kekuasaan kehakiman di Indonesia pengadilan agama adalah pengadilan tingkat I bagi orang islam untuk menyelesaikan sengketa perkawinan, perceraian, kewarisan, hibah, wasiat, waqaf dan sadaqah, diatasnya lagi ada pengadialan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Sedangkan puncak pengadilan adalah Mahkamah Agung.
Minggu, 11 November 2012
Sejarah Perkembangan Hukum laut
Masa Imperium Romawi
Konsepsi Hukum
Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa tepatnya ketika Imperium Romawi
menguasai seluruh tepian Laut Tengah. Peraturan- peraturan hukum laut yang
dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau III sebelum masehi sangat berpengaruh
di laut tengah karena prinsip- prinsipnya diterima dengan baik oleh orang
Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad V
sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya didasarkan atas peraturan
hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV di kawasan laut tengah
terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato Del
Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan
perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang- undang Asilka sekitar
abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis barat dan kitab undang-
undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara[1].
Sejarah telah
mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah
ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan
pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut
tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya
Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara
damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada
saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut
karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.[2]
Kenyataan bahwa
Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh
Lautan Tengah secara mutlak, dengan demikian menimbulkan suatu keadaan dimana
Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas daripada gangguan bajak-bajak laut,
sehingga semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan
sejahtera[3].
Masa Abad Pertengahan
Memasuki abad pertengahan, munculah
klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan
bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut minuntut penguasaan atas
laut yang berbatasan dengan pantainya[4]. Negara-negara yang mucul setelah
runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut
sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan
bermacam-macam. Diawali oleh Venetia yang menuntut
sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. suatu
tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander ke-III dalam tahun 1177. Berdasarkan
kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal
yang berlayar di sana[5].
Genoa
mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan sekitarnya dan melakukan
tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang
mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrrhenia.
Tiga Negara kecil yang mucul setelah runtuhnya Imperium
Romawi di atas hanya merupakan sebagian saja dari contoh negara-negara di
tepi laut tengah yang berusaha melaksanakan kekuasaannya atas Laut Tengah
setelah kekuasaan tunggal Romawi lenyap dengan runtuhnya Imperium Romawi.
Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut dengan laut yang
berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang bermacam-macam yang
dizaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (1) karantina
(perlindungan kesehatan), terutama terhadap bahaya penyakit pes (black plague);
(2) bea cukai (pencegahan penyelundupan); (3) pertahanan dan netralitas. Sering
terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu menyebabkan perlunya
negara yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara tentangga-tetangganya
untuk menentukan suatu daerah bebas dari tindakan permusuhan. Daerah netralitas
ini biasanya ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan negara pantai untuk
menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut dengan meriam dari
benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal mula dari teori tembakan
meriam yang akan dibahas kemudian.
Kebutuhan
untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara darripada laut
menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim disebut Post-Glossator atau
Komentator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas asas-asas dan
konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi
klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan
beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah teori yang dikemukakan
oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan.
Bortolus meletakkan dasar bagi pembagian dua daripada laut yakni bagian laut
yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan diluar itu berupa
bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak
akan merupakan dasar bagi pembagian dua daripada laut yang klasik dalam Laut
Territorial dan Laut Lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih
maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni:
(1) pemilkan daripada laut (2) pemakiaian daripada laut (3) yurisdiksi
atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan di laut.
Suatu
peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional adalah pembagian
seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian yang dilakukan Paus
Alexander XII di tahun 1493 dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian
seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan Spanyol yang pada
hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua lingkungan kekuasaan yang
masing-masing dinyatakan berada di bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan
Spanyol ini merupakan usaha untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara
dua kerajaan Katholik ini yang mulai timbul sejak jatuhnya Constatinopel
(sekarang Istambul) ke tangan Turki di tahun 1453.
Hingga
saat itu perdagangan antara Timur Jauh (Asia) dan Eropa dilakukan melalui jalan
darat dan laut. Barang-barang yang berasal dari Tiongkok, Asia Timur dan
Kepulauan Hindia seperti kain sutera, batu permata, permadani dan rempah-rempah
diangkut dengan kalifah-kalifahdan kapal-kapal laut melalui India, Persia dan
Timur Tengah ke tepi Timur Laut Tengah dan dari sana ke Venetia, Genoa dan
lain-lain kota di Italia untuk kemudian disebarkan ke tempat-tempat lain di
benua Eropa.
Karena
itu dalam abad pertengahan daerah sekitar Laut Tengah merupakan pusat
perdagangan antara benua Asia dan Eropa dan kota-kota di Italia berkembang
dengan pesat sebagai pusat perdagangan yang sangat menguntungkan di Eropa.
Lalu
lintas antara kota-kota kerajaan maupun Republik di Italian dan kota-kota di
pantai Timur Laut Tengah yang merupakan “terminal” atau tempat tujuan akhir
dari kafilah-kafilah yang dating dari Timur Jauh merupakan urat nadi dari pada
kehidupan perniagaan pada masa itu. Selain yang disebutkan di atas sebab lain
yang menyebabkan dapat terus berlangusngnya perdagangan Timur Tengah ini di
tengah-tengah berlakunya perang-perang salib adalah bahwa peperangan diabad
pertengahan memang mengecualikan orang sipil termasuk pedagang dari permusuhan
apalagi warga dari republik atau kerajaan yang tidak terlibat langsung dalam
peperangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa perang-perang salib merupakan salah
satu sebab penting daripada peningkatan perdagangan dengan Timur Jauh karena
mereka yang kembali dari Timur Tengah inilah yang justru membawa kembali dan
memperkenalkan barang-barang mewah dari Timur Jauh itu ke dalam lingkungan
bangsawan dan masyarakat Eropa.
Jatuhnya
Istambul ke tangan Turki di tahun 1453 memperkuat hasrat bangsa-bangsa di Eropa
utnuk menemukan jalan bahkan dapat dikatakan memaksa mereka melakukannya. Orang
Portugis yang berhasil sampai ke kepulauan Maluku melalui Samudera Atlantik,
Tanjung Harapan dan India menganggap samudera dan lautan yang mereka lalui
sebagai milik mereka. Demikian pula orang Spanyol yang sampai juga ke kepulauan
Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari bagian selatan benua Amerika
menuntut samudera-samudera tersebut sebagai milik mereka.
Dengan
demikian maka Piagam yang kedua dari Paus Alexander VI tahun 1493 yang membagi
samudera-samudera dan lautan di dunia antara Portugal dan Sapnyol dapat
dianggap sebagai usaha untuk mendamaikan klaim-klaim yang saling bertentangan
di atas.menurut piagam ini segala laut dan samudera disebelah Barat meridian
(garis bujur) yang letaknya kurang lebih 400 mil laut dari kepulauan Azores
dinyatakna sebagai milik Spanyol, sedangkan yang sebelah Timur meridian
tersebut dinyatakan milik Portugis.
Pembagian
laut dan samudera yang dilakukan oleh Portugal dan Spanyol yang terutama
merupakan cara untuk melarang pihak lain melakukan pelayaran di laut dan
samudera yang bersangkutan rupanya tidak pernah berlaku di daerah lautan Utara
benua Eropa di mana terdapat klaim “domino maris” daripada kerajaan Denmark,
yang selain pengaturan pelayaran juga, meliputi perikanan dan pemberantasan
bajak laut. Satu hal yang menarik klaim Denmark ini adalah kemampuan kerajaan
Denmark untuk memaksakannya terhadap pihak-pihak lain dan kenyataan bahwa
kerajaan-kerajaan lain seperti misalnya Inggris, Belanda dan Perancis memang
mengakui kedaulatan Denmark atas laut antara pantai-pantai Norway di satu pihak
dan Denmark serta Greenland di pihak lain.
Kerajaan
Inggris masa itu terutama di bawah raja-raja dari Skotlandia juga menganggap
lautan sekitar kepulauan Inggris sebagai “dominio maris”. Dorongan utama bagi
pendirian ini adalah hasrat untuk melindungi perikanan di perairan Inggris
terhadap nelayan-nelayan asing. Untuk maksud lain raja Charles II pernah
menyatakan laut diantara kepulauan Inggris (England, Scotland, dan Ireland)
sebagai “King’s Chambers” dengan cara pengukuran batas yang menggunakan
garis-garis lurus yang ditarik dari ujung ke ujung kepulauan Inggris[6].
Laut Tertutup (more clausum) lawan
laut bebas (mare liberium)
Asas
kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius
dalam bukunya Mare Liberium yang terbit di tahun 1609. buku ini yang mempunyai
subjudul “on the right of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak
orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai
pembelaan hak orang Belanda – atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol
– untuk mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama raja James I dari Inggris telah
mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda utnuk menangkap ikan di dekat pantai
Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya ditujukan pada
orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran
oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh
Inggris, telah menimbulkan rekasi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti
Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “battle of
the books”
Para
penulis Inggris, Potrugal dan Spanyol yang menentang pendapat Grotius
mengemukakan bahwa laut itu dapat dimiliki oleh setiap negara. Sarjana-sarjana
tersebut seperti misalnya John Shleden dari Inggris dengan bukunya Mare Clausum
(Laut Tertutup) yang membela dan mempertahankan klaim Inggris atas Laut Utara.
Demikian pula dengan sarjana Inggris lain seperti William Wellwood dalam
bukunya Abridgement of All Sea Law (1613) menentang keras pandangan
Grotius.
Tentu
saja antara kedua pendapat yang ekstrim itu agak sukar untuk diterima semua
pihak dan akhirnya memang jalan kompromi yang mempertemukan kedua pandangan
tersebut yakni pada tahun 1704 seorang sarjana hukum berkebangsaan Belanda
Cornelis Von Bynkershoek dalam bukunya De Dominia Maris Dissertatio (suatu
essay tentang kekuasaan atas laut) mengusulkan suatu rumusan dalil, sebagai
penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan
meriam yang berbunyi: “terrae protestas finitur ubi finitur armorum
vis”(kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut
dalil ini jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
wilayah daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan demikian
lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian dua laut yang
dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “battle of the books” antara doktrin
“mare liberium” dan “mare clausum”[7].
Toeri Jarak Tembakan Meriam
(Lebar Laut Territorial)
Pada tahun 1702,
byikershoek menerbitkan karyanya mengenai kedaulatan atas laut, dalam karyanya
ini menyetujui peraturan bahwa negara pesisir dapat menguasai laut sebatas
lebar perairan pantai sejauh tembakan peluru meriam pantai, yaitu kurang lebih
3 mil. Batas 3 mil ini mendapatan pengakuan luas dari para ahli hukum, juga
oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapatkan pengesahan dalam praktek
negara-negara maritim utama. Yang
menjadi soal lainnya dalam hukum laut internasional adalah apakah laut dapat
dimiliki oleh suatu negara atau tidak. Selama ini, sejarah hukum laut
internasional dua konsepsi pokok, yaitu:
a. Res Nullius, yang menyatakan
bahwa laut tidak ada yang memilikinya dan oleh karena itu dapat diambil dan
dimiliki oleh masing-masing negara.
b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut
adalah milik masyarakat dunia dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki
masing-masing negara[8].
Dalam
awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk
menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan
negara pantai. Diantaranya yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam;
(2) ukuran pandangan mata; (3) ukuran “marine league”. Baru jauh kemudian
ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut
territorial yang berlaku umum. Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang
paling banyak diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali
orang mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula
kaedah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang
sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
Pada
tahun 1782 dua orang sarjana hukum berkebangsaan Itali Galiani dan Azuni mengusulkan
agar lebar laut territorial suatu negara sejauh tiga mil diukur dari pantai.
Jarak tiga mil yang diusulkan ini berkaitan dengan persoalan netralitas yang
menjadi persoalan hangat pada waktu perang Kemerdekaan Amerika pada tahun
1776-1782. Pada waktu itu berkembang pendapat bahwa perang di laut tidak boleh
dilakukan dalam jarak tiga mil dari pantai negara netral. Tampaknya jarak tiga
mil ini sama dengan jarak tembak meriam pada waktu itu. Kemudian jarak tiga mil
ini mulai diterima oleh para ahli hukum dan negara-negara. Banyak negara yang
menetapkan lebar laut territorialnya sejauh tiga mil dari pantai diukur pada
waktu air laut surut. Untuk sementara waktu sudah mulai ada kepastian tentang
lebar laut territorial ini. Namun lebar laut territorial ini tidak lama
bertahan. Pada awal abad XIX beberapa negara mulai mengklaim lebar laut
territorial yang melebihi tiga mil. Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad
XX. Masa ini boleh dikatakan sebagai puncak perlombaan negara-negara dalam
mengklaim lebar laut territorial. Usaha untuk menetapkan lebar laut territorial
yang saragam bagi semua negara terus dilakukan. Mulai dari pendapat-pendapat
para sarjana, kemudian disusul oleh organisasi-organisasi internasional
independent seperti ;Institute of International Law, International Law
Association, American Society of International Law dan lain sebagainya dan
akhirnya oleh organisasi internasional yang anggotanya negara-negara seperti
Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nemun semuanya ini tidak ada
yang berhasil menetukan lebar laut territorial[9].
Konferensi Den Haag 1930
Pada
tahun 1930 diadakanlah Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag
atas prakarsa dari Liga Bangsa-Bangsa. Salah satu materi hukum internasional
yang hendak dikodifikasikan adalah lebar laut territorial. Akan tetapi
Konferensi Den Haag 1930 gagal mencapai kata sepakat lebar laut territorial.
Akibatnya lebar laut territorial negara-negara tetapi tidak seragam[10].
Langganan:
Postingan (Atom)