BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dengan
menyadari pentingnya peranan transportasi, maka lalu lintas dan angkutan jalan
harus ditata dalam suatu sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu
mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang sesuai dengan tingkat kebutuhan
lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, nyaman, cepat, teratur, lancar
dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk itu
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu
dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sebagai Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan Pemerintah No. 41
Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun PP No. 41
Tahun 1993 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 2003
dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324 UU No. 22 Tahun 2009 bahwa : Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam pasal
2 dan pasal 3 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat
dengan UULLAJ) mengatur asas dan tujuan pengangkutan. Adapun Asas
penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan: asas
transparan, asas akuntabel, asas berkelanjutan, asas partisipatif, asas
bermanfaat, asas efisien dan efektif, asas seimbang, asas terpadu, dan asas
mandiri. Sedangkan Pasal 3 UULAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yakni : terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk
mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa,
terwujudnya, etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan
hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Demikian
juga dalam Paragraf 9 UULLAJ tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi
Kendaraan Bermotor Umum serta pasal 141 UULAJ tentang standar pelayanan
angkutan orang dan masih banyak pasal-pasal lainnya yang terkait dengan adanya
upaya memberikan penyelenggaraan jasa angkutan bagi pengguna jasa atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pemakai jasa angkutan. Pengguna jasa
adalah setiap orang dan/ atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan baik
untuk angkutan orang maupun barang. Karena pengangkutan di sini merupakan
pengangkutan orang maka pengguna jasa untuk selanjutnya disebut penumpang.
Sedangkan pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
angkutan barang dan/ atau penumpang. Pengertian lainnya adalah menurut Pasal 1
ayat 22 UULLAJ, yang disebut dengan Pengguna Jasa adalah perseorangan atau
badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. Sedangkan yang
disebut pengangkut dalam UULLAJ ini dipersamakan dengan pengertian Perusahaan
Angkutan Umum yakni di sebutkan dalam Pasal 1 ayat 21 yang berbunyi :
Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan
orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Dengan
berlakunya UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa
angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta
penumpang. Secara operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan
oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang
mengikatkan diri untuk menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah
pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya
mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut
penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat,
artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan
dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak
mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuang
pengangkutan dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai dengan nilai guna
masyarakat. Namun dalam kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan
tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu
kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun
kerugian yang secara immateriil seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang
dirasakan oleh penumpang. Misalnya saja tindakan pengemudi yang mengemudi
secara tidak wajar dalam arti saat menjalani tugasnya pengemudi dipengaruhi
oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat mempengaruhi kemampuannya
mengemudikan kendaraan secara ugal-ugalan sehingga menyebabkan terjadinya
kecelakaan dan penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja melanggar
pasal 23 ayat 1 (a) UULLAJ.
Tindakan
lainnya adalah pengemudi melakukan penarikan tarif yang tidak sesuai dengan
tarif resmi, hal ini tentu saja melanggar pasal 42 UULLAJ tentang tarif.
Misalnya saja di Surabaya tarif resmi angkutan mikrolet yang ditentukan
berdasarkan SK Walikota Surabaya No. 55/ 2002 adalah sebesar Rp. 1200. Namun
dalam realitanya masih ada pengemudi menarik biaya angkutan lebih dari tarif
resmi. Atau tindakan lain seperti menurunkan di sembarang tempat yang
dikehendaki tanpa suatu alasan yang jelas, sehingga tujuan pengangkutan yang
sebenarnya diinginkan oleh penumpang tidak terlaksana. Hal ini tentu saja
melanggar ketentuan pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut
terhadap penumpang yang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat
tujuan. Dan adanya perilaku pengangkut yang mengangkut penumpang melebihi
kapasitas maksimum kendaraan. Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat
diketahui bahwa dalam sektor pelayanan angkutan umum masih banyak menyimpan
permasalahan klasik. Dan dalam hal ini pengguna jasa sering menjadi korban
daripada perilaku pengangkut yang tidak bertanggung jawab.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
dijabarkan diatas maka dapat tulis suatu rumusan permasalahan antara lain :
1. Perlindungan
hukum apa yang diberikan kepada korban kecelakaan lalu lintas darat?.
2. Bagaimana
prosedur untuk mendapatkan hak korban kecelakaan lalu lintas darat?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui bagaimana Pelaksanaan perlindungan Hukum bagi korban kecelakaan lalu
lintas darat.
2.
Serta dapat mengatahui upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh korban kecelakaan lalu lintas darat.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penulisan ini, dapat
diketahui tentang tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan
dengan angkutan umum dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh penumpang akibat
kesalahan dari pengangkut serta berguna bagi
1. Kegunaan
Teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang berarti bagi ilmu
pengetahuan hukum, khususnya hukum pengangkutan mengenai tanggung jawab para
pihak dalam perjanjian pengangkutan dengan angkutan umum dan upaya hukum yang
dapat dilakukan dalam hukum pengangkutan.
2. Kegunaan
Praktis
Diharapkan dapat
menjadi masukan bagi para pihak dalam pelaksanaan tanggung jawab dalam
perjanjian pengangkutann
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan artinya
usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat
ke tempat yang lain.
Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat
ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan
sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut :
1)
Ada sesuatu yang diangkut.
2)
tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan.
3) ada tempat yang dapat
dilalui oleh angkutan.
Menurut pendapat R.
Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta
efisiensi.Adapun proses dari pengangkutan itu merupakan gerakan
dari tempat asal dari mana
kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu diakhiri[1]. Sedangkan
menurut Abdul Kadir Muhammad Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang
atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari
tempat pemuatan ke tempat tujuan/ dan menurunkan barang atau penumpang dari
alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan[2].
Sehingga Secara umum dapat didefinisikan bahwa pengangkutan adalah perjanjian
timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu
tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan
diri untuk membayar angkutan. Dari pengertian diatas dapat diketahui
bahwa pihak dalam perjanjian pengangkut adalah pengangkut dan pengirim. Sifat
dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, artinya
masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban sendiri-sendiri. Pihak
pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang
dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman
berkewajiban untuk membayar uang angkutan[3].
B.
Asas
- asas Pengangkutan
Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis yang
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
1)
Yang bersifat perdata; dan
2)
Yang bersifat public
Asas-asas yang bersifat publik terdapat
pada tiap-tiap Undang-Undang pengangkutan baik darat, laut dan udara. Dalam
pengangkutan udara terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang No.15 Tahun 1992.
Asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya
berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut
dan penumpang atau pengirim barang. Asas-asas hukum pengangkutan yang bersifat
perdata menurut Abdulkadir Muhammad (1998: 18-19) adalah sebagai berikut:
a.
Konsensual
Pengangkutan
tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan
pihak-pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau
sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen angkutan.
b.
Koordinatif
Pihak-pihak
dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak
yang mengatasi atau membawahi yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa
dan melaksanakan perintah penumpang/pengirim barang, pengangkut bukan bawahan
penumpang/pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian pemberian kuasa.
c.
Campuran
Pengangkutan
merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa,
penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut.
Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
d.
Retensi
Pengangkutan
tidak menggunakan hak retensi. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan
tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkutan hanya mempunyai kewajiban
menyimpan barang atas biaya pemiliknya.
e.
Pembuktian dengan dokumen
Setiap pengangkutan
selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan. Tidak ada dokumen angkutan berarti
tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku
umum, misalnya pengangkutan dengan angkutan kota (angkot) tanpa karcis/tiket
penumpang.
Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik,
yaitu sebagai berikut:
a.
Asas manfaat yaitu, bahwa pengangkutan harus dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan
rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara,
serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara;
b.
Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa
penyelenggaraan usaha di bidang pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai
cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh
seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
c.
Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan
penegangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada
segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d.
Asas keseimbangan yaitu, bahwa pengangkutan harus
diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi
antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa,
antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional
dan internasional;
e.
Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan
pengangkutan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat
luas;
f.
Asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus
merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling
mengisi baik intra maupun antar moda transportasi;
g.
Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada
pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan
kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum
dalam penyelenggaraan pengangkutan.
h.
Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa pngangkutan
harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta
bersendikan kepada kepribadian bangsa;
i.
Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap
penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi
kecelakaan[4].
C. Fungsi Dan Tujuan Pengangkutan
Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah
untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud
untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat
diadakan perpindahan barang-barang dari suatu tempat yang dirasa barang itu
kurang berguna ketempat dimana barang-barang tadi dirasakan akan lebih
bermanfaat. Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain
yang diselenggarakan dengan pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan memenuhi
beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan
dengan aman, selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya.
Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan mempunyai dua nilai
kegunaan, yaitu :
a.
Kegunaan Tempat ( Place Utility )
Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi
perpindahan barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang
bermanfaat, ketempat lain yang menyebabkan barang tadi menjadi lebih
bermanfaat.
b.
Kegunaan Waktu ( Time Utility )
Dengan
adanya pengangkutan berarti dapat dimungkinkan terjadinya suatu perpindahan
suatu barang dari suatu tempat ketempat lain dimana barang itu lebih diperlukan
tepat pada waktunya[5].
D. Prinsip dasar Pengangkutan
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan
para pihak yaitu antara pengangkut dan pengirim adalah sama tinggi. Hubungan
kerja di dalam perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan pengirim tidak
secara terus menerus, tetapisifatnya hanya berkala, ketika seorang pengirim
membutuhkan pengangkut untuk mengangkut barang. Menurut Abdul Kadir Muhammad,
perjanjian pengangkutan mengandung tiga prinsip tanggung jawab, yaitu:
c.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, menurut
prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan
pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat
dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan
kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan
pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam
pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.
d.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga, menurut
prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian
yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya Tetapi jika pengangkut
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut bukan pada
pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian
yang diderita dalam pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut.
e. Prinsip
tanggung jawab mutlak, menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab
membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan
yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan
pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab
dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal
beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan.
Dalam
suatu pengangkutan bila undang-undang tidak menentukan syarat atau halyang
dikehendaki para pihak maka para pihak dapat mengikuti kebiasaan yangtelah
berlaku atau menentukan sendiri kesepakatan bersama, tentunya hal tersebutharus
mengacu pada keadilan. Tujuan pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan
hak-hak para pihak yang terlibat dalam pengangkutan. Kewajiban dari pengangkut
adalah menyelenggarakan pengangkutan dan berhak menerima biaya pengangkutan.
Sedangkan kewajiban pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan
dan berhak atas pelayanan pengangkutan yang wajar[6].
E. Jenis Pengangkutan Dan
Pengaturannya
Dalam dunia perdagangan ada tiga
jenis pengangkutan antara lain :
a. Pengangkutan
melalui darat yang diatur dalam :
1) KUHD,
Buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90-98.
2) Peraturan
khusus lainnya, misalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang
Perkeretaapian. Dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya.
3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi.
b. Pengangkutan
melalui laut
Jenis pengangkutan ini diatur dalam
:
1) KUHD,
Buku II, Bab V tentang Perjanjian Carter Kapal.
2) KUHD,
Buku II, Bab V A tentang pengangkutan barang-barang.
3) KUHD,
Buku II, Bab VB tentang pengangkutan orang.
4) Peraturan-peraturan
khusus lainnya.
c. Pengangkutan
udara
Jenis
pengangkutan udara diatur dalam :
1) S.
1939 Nomor 100 ( Luchtvervoerordonnatie ).
2) Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan.
3) Peraturan-peraturan
khusus lainnya.
F. Sifat Hukum Perjanjian
Pengangkutan.
Dalam
perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengirim
sama tinggi atau koordinasi ( geeoordineerd ), tidak seperti dalam perjanjian
perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan
subordinasi gesubordineerd ). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan
terdapat beberapa pendapat, yaitu :
a. Pelayanan
berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan pengangkut tidak bersifat
tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan (tidak
terus menerus), berdasarkan atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.
b. Pemborongan
sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan
sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas
ketentuan Pasal 1617 KUH Perdata ( Pasal
penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan ).
c. Campuran
perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian
melakukan pekerjaan ( pelayanan berkala ) dan perjanjian penyimpanan
(bewaargeving). Unsur pelayanan berkala ( Pasal 1601 b KUH Perdata ) dan unsur
penyimpanan ( Pasal 468 ( 1 ) KUHD ).
G. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan
Menurut
sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyratkan
harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari
pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian
pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan ( konsensus ) diantara para pihak.
Dengan kata lain perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil. Dalam praktek
sehari-hari, dalam pengangkutan darat terdapat dokumen yang disebut denga surat
muatan ( vracht brief ) seperti dimaksud dalam pasal 90 KUHD. Demikian juga halnya
dalam pengangkutan pengangkutan melalui laut terdapat dokumen konosemen yakni
tanda penerimaan barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang.
Dokumen-dokumen tersebut bukan merupakan syarat mutlak tentang adanya
perjanjian pengangkutan. Tidak adanya dokumen tersebut tidak membatalkan
perjanjian pengangkutan yang telah ada ( Pasal 454, 504 dan 90 KUHD ). Jadi
dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan
bersifat konsensuil.
H. Kedudukan Penerima
Dalam
perjanjian pengangkutan, termasuk kewajiban pengangkut adalah menyerahkan
barang angkutan kepada penerima. Disini penerima bukan merupakan pihak yang ada
dalam perjanjian pengangkutan tetapi pada dasarnya dia adalah pihak ketiga yang
berkepentingan dalam pengangkutan ( Pasal 1317 KUH Perdata ).
Penerima
bisa terjadi adalah pengirim itu sendiri tetapi mungkin juga orang lain.
Penerima akan berurusan dengan pengangkut apabila ia telah menerima barang-barang
angkutan. Pihak penerima harus membayar ongkos angkutannya, kecuali ditentukan
lain. Apabila penerima tidak mau membayar ongkos atau uang angkutnya maka pihak
pengangkut mempunyai hak retensi terhadap barang-barang yang diangkutnya.
I.
Prinsip-prinsip Tanggung Jawab
Pengangkut.
Dalam hukum pengangkutan dikenal
adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu :
a. Tanggung
Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan
bahwa selalu bertanggung jawab6 atas setiap kerugian yang timbul pada
pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan
bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti
rugi kerugian itu. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan
dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang
perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya
diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan. Prinsip ini
hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran, yang menyatakan : “jika perusahaan angkutan perairan dapat
membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud aya 1 huruf b: musnah, hilang
atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan
atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh
kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya.
Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada
pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian
pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip
tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan
angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”. Dalam
KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam
ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak
diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab
mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa
diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang
tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab. Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab. Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
a. Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992
tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
b. Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun
1992 tentang Perkereta Apian.
c. Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No.
15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
b. Tanggung
Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini
jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam
penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan
wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada
pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal
1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum
dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung
pengangkutan.
Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.
Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.
c. Tanggung
Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan
kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa
keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
d. Pembatasan
tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)
Bila jumlah ganti rugi sebagaimana
yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan
pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka
undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti
rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula
dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk
undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD. Mengenai
pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal
24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan
Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab
pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24
merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang
dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau
anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa
pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini
berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab
untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi
dan barang”. Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak
pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai
tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat
dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini. Dengan
terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka
terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab
Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai
pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36
menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua
tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya. Pasal 36
berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam
jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai
dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan
jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus. Selain itu ada hal-hal yang membuat
pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama
sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya
perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung
jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa
asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka
waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang
keliru. Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab
pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 (1) Pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang
diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun
pesawat udara. (2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul
karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang
dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan
tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi
tanggung jawabnya. Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict
Liability), dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai
tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut. Pada
Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan
bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil
tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk
mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga,
seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU;
Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila:
a.
ia
dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan
yang perlu untuk menghindarkan kerugian;
b.
ia
dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
c. kerugian itu disebabkan oleh
kesalahan yang menderita itu sendiri;
d.
kesalahan
penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu
Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya
pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam
undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan,
pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif
perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari
aturan tadi.
e. Presumtion
of non Liability
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki
tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari
tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang
diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam
mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini
ditetapkan dalam :
a. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan
b. pasal 86 UU pelayaran
BAB
III
METODE PENELITIAN
A.
Tipe
Penelitian
Pendekatan yang digunakan
adalah yuridis empiris yang memberikan kerangka pembuktian atau kerangka
pengujian untuk memastikan suatu kebenaran atau dengan kata lain yuridis
empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi
ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang) secara in action pada
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Implementasi
secara in action tersebut merupakan fakta empiris dan berguna untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan oleh Negara atau pihak-pihak dalam pengangkutan.
Implementasi secara in action diharapkan akan berlangsung sempurna apabila
rumusan ketentuan hukum normatif jelas dan tegas serta lengkap.
B.
Lokasi
Penelitian
Lokasi
penelitian yang dipilih adalah Terminal Gamalama dan Pelabuhan Ahmad Yani
Ternate, karena disini merupakan tempat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian pengangkutan.
C.
Jenis
Dan Sumber Data
Sehubungan dengan metode pendekatan
yang digunakan adalah yuridis empiris yang memberikan kerangka pembuktian atau
kerangka pengujian untuk memastikan suatu kebenaran. Pada penelitian ini yang
diteliti adalah data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan mengadakan
penelitian terhadap data primer dilapangan. Pendekatan yuridis, dimaksudkan
bahwa pendekatan tersebut ditinjau dari sudut peraturan yang merupakan data
sekunder. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang lalu lintas angkutan jalan serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian
yuridis, adalah penelitian yang didasarkan pada hukum dan peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Sedang pendekatan empiris,
adalah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris melalui
penelitian dilapangan. Jadi pendekatan yuridis empiris adalah penelitian yang
berusaha menghubungkan antara norma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang
ada dimasyarakat dan penelitian berupa studi empiris berusaha menemukan teori
mengenai proses terjadinya hukum.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data
digunakan teknik pengumpulan data berupa :
1. Wawancara
berstruktur. Melakukan wawancara secara mendalam dan terstruktur kepada Mulai
dari Penumpang, sopir, pelaku Usaha dibidang pengangkutan, serta kepada petugas
yang mempunyai kompetensi dibidang hukum pengangkutan. Hal ini bertujuan untuk
menggali informasi dan mendapatkan data yang relevan, yang berkaitan dengan
yang ingin diketahui oleh peneliti dan akan berhenti jika terlihat tidak akan
muncul suatu variasi atau informasi baru.
2. Studi
kepustakaan. Penelitian hukum dilakukan dengan studi kepustakaan yang meliputi
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer berupa
ketentuan perundang-undangan . bahan hukum sekunder, berupa hasil penemuan atau
pendapat ilmiah yang berkaitan dengan materi penelitian.
E. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dalam
penelitian ini selanjutnya dianalisis secara analitis kualitatif, yaitu dengan
memperhatikan fakta-fakta yang ada dilapangan, kemudian dikelompokkan, dihubungkan
dan dibandingkan dengan ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Pengangkutan.
Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui sumber permasalahan yuridis dalam
perjanjian Pengangkutan sehingga dapat diusulkan tata cara prosedur
penyelesaian permasalahan yang lebih baik
dan menguntungkan bagi para pihak.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Bagi Korban
Kecelakaan Lalu Lintas Darat
Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mobilitas
sosial dan sangat dekat dekat masyarakat. Setiap waktu masyarakat terus
bergulat dengan angkutan jalan dengan bermacam-macam kepentingan. Berbagai
kondisi zaman dibarengi dengan berbagai
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan pola tingkah
laku masyarakat telah dilewati oleh Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia
dari masa Pemerintahan Belanda sampai pada era refomasi pada saat ini.
Begitupun dengan Undang-undang yang mengaturnya, pada masa pemerintahan Hindia
Belanda di atur dalam Werverkeersordonnantie” (Staatsblad 1933 Nomor 86) yang
kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1951 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie,
Staatsblad 1933 Nomor 86), lalu diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Undang-Undang No 3 Tahun 1965 ini
bahwa ini adalah Undang-Undang pertama yang mengatur LLAJ di Indonesia setelah Indonesia Merdeka.
Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang juga kemudian diganti oleh
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal
229 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, yang selanjutnya disingkat UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, membagi
kecelakaan lalu lintas menjadi tiga golongan yaitu:
1.
Kecelakaan Lalu Lintas Ringan, yaitu
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
2.
Kecelakaan Lalu Lintas Sedang, yaitu
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang
3.
Kecelakaan Lalu Lintas Berat, yaitu
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat
Pasal 229 ayat (5) UU
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian
Pengguna Jalan, ketidaklaikan kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau
lingkungan. Tidak hanya mengenai penggolongan kecelakaan lalu lintas, UU Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan juga telah secara eksplisit mengatur mengenai hak
korban yang diatur pada Bagian keempat Bab XIV tentang hak korban dalam
kecelakaan lalu lintas. Adapun hak korban kecelakaan lalu lintas tersebut sebagaimana
dijelaskan pada Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa korban
kecelakaan lalu lintas berhak mendapatkan:
1.
Pertolongan dan perawatan dari pihak
yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau
pemerintah
2.
Ganti kerugian dari pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, dan
3.
Santunan kecelakaan lalu lintas dari
perusahaan asuransi
B.
Prosedur
untuk mendapatkan Hak Korban Kecelakaan Lalu Lintas Darat
1. Pertolongan dan perawatan
Pasal 240 UU Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan menunjukan bahwa hak korban ini biasa diperoleh
korban dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas
dan/atau pemerintah. Pengaturan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya kecelakaan lalu lintas darat hal tersebut sebenarnnya juga telah
diatur pada pasal sebelumnya yaitu dalam Pasal 231 ayat (1) UU Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang menjelaskan bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang
terlibat kecelakaan lalu lintas, wajib:
a.
Menghentikan kendaraan yang
dikemudikannya
b.
Memberikan pertolongan kepada korban
c.
Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia terdekat
d.
Memberikan keterangan yang terkait
dengan kejadian kecelakaan
Selanjutnya
dalam Pasal 231 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan pula
bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang karena keadaan memaksa tidak dapat
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b,
segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indoensia terdekat[7].
Pemberian pertolongan
dan perawatan terhadap korban kecelakaan lalu lintas tidak hanya merupakan
kewajiban dari pengemudi kendaraan bermotor, dalam Pasal 232 UU Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan menjelaskan pula bahwa setiap orang yang mendengar, melihat,
dan/atau mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib:
a.
Memberikan pertolongan kepada korban
kecelakaan lalu lintas
b.
Melaporkan kecelakaan tersebut kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau
c.
Memberikan keterangan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Mengenai
pelaksanaan dari pasal 238 ayat (2) dan Pasal 239 ayat (1) sebagai kewajiban
dan tanggung jawab pemerintah dalam penanganan kecelakaan lalu lintas maupun
terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Pada perkembangannya hak korban yang
berupa perawatan maupun ganti kerugian bukan hanya berasal dari pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah,
tetapi juga dapat diberikan dari pihak Yayasan atau Perusahaan tempat pelaku
kecelakaan bekerja.
Untuk
perawatan yang berasal dari Pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh Asuransi)
prosedur pemberiannya adalah sama dengan prosedur santunan. Bahkan dalam rangka
memberikan pelayanan “PRIME” Service Jasa Raharja Dumai, diwakili oleh Petugas
Pelayanan, M. Abrar Anas, SE.Msi., menyerahkan penggantian biaya perawatan di
rumah korban. Sehubungan dengan kecelakaan lalu lintas jalan yang menimpa
korban, an. Tugiono, pejalan kaki yang menyebrang di tabrak oleh Sepeda Motor.
Dijelaskan juga bahwa uang penggantian biaya rawatan sudah ditransfer ke
rekening an. Korban dan berhubung korban tidak bisa datang ke kantor Jasa
Raharja untuk menanda tangani kwitansi penerimaan uang maka pihak jasa raharja
yang datang untuk meminta tanda tangan korban.
2. Ganti kerugian
Ganti kerugian
merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang bertanggung jawab
atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, bukan hanya dimuat dalam Pasal 240 UU
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tetapi diatur pula dalam UU Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pada BAB XIV bagian ketiga mengenai kewajiban dan tanggung jawab
dan paragraf 1 mengenai kewajiban dan tanggung jawab pengemudi, pemilik
kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan, dalam Pasal 234 dijelaskan
bahwa:
a. Pengemudi,
pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau
pihak ketiga karena kelalaian pengemudi
b. Setiap
pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung
jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau
kesalahan pengemudi
c. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:
1) Adanya
keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan pengemudi.
2) Disebabkan
oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau disebabkan gerakan
orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan
Besarnya
nilai penggantian kerugian yang merupakan tanggung jawab pihak yang menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat ditentukan berdasarkan putusan
pengadilan atau dapat juga dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan
damai di antara para pihak yang terlibat dengan catatan kerugian tersebut
terjadi pada kecelakaan lalu lintas ringan. Apabila korban kecelakaan lalu
lintas meninggal dunia maka berdasar Pasal 235 ayat (1) UU Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum memberikan
ganti kerugian wajib kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau
biaya pemakaman. Namun pemberian ganti kerugian atau bantuan tersebut tidak
serta merta menggugurkan tuntutan perkara pidana sebagaimana yang dimaksud
Pasal 230 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
3. Santunan kecelakaan lalu lintas
Sebagai pelaksanaan
Pasal 239 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur bahwa
Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu pemerintah mempunyai PT.
Jasa Raharja (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tugas dan
fungsinya ada 2 (dua) yaitu :
a. Memberikan
santunan atas kejadian kecelakaan pada korban kecelakaan lalu lintas darat, laut, udara, dan penumpang
kendaraan umum.
b. Menghimpun
dana pajak kendaraan bermotor melalui Samsat yang mana dana itu nantinya untuk
membayar santunan.
Adapun cara memperoleh santunan adalah
sebagai berikut:
a. Menghubungi
kantor Jasa Raharja terdekat
b. Mengisi
formulir pengajuan dengan melampirkan :
1) Laporan
Polisi tentang kecelakaan Lalu Lintas dari Unit Laka Satlantas Polres setempat
dan atau dari instansi berwenang lainnya.
2) Keterangan
kesehatan dari dokter / RS yang merawat.
3) KTP
/ Identitas korban / ahli waris korban.
4) Formulir
pengajuan diberikan Jasa Raharja secara cuma-cuma
Untuk memperoleh dana
santunan caranya adalah dengan mengisi formulir yang disediakan secara
Cuma-cuma oleh PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), yaitu :
a.
Formulir model K1 untuk kecelakaan
ditabrak kendaraan bermotor dapat diperoleh di Polres dan Kantor Jasa Raharja
terdekat.
b.
Formulir K2 untuk kecelakaan penumpang
umum dapat diperoleh di Kepolisian/Perumka/Syahbandar laut/Badar Udara dan
Kantor Jasa Raharja terdekat.
Dengan cara pengisian formulir sebagai
berikut :
1) Keterangan
identitas korban/ahli waris diisi oleh yang mengajukan dana santunan.
2) Keterangan
kecelakaan lalu lintas diisi dan disahkan oleh Kepolisian atau pihak yang
berwenang lainnya.
3) Keterangan
kesehatan/keadaan korban diisi dan disahkan rumah sakit/dokter yang merawat
korban.
4) Apabila
korban meninggal dunia, tentang keabsahan ahli waris, diisi dan disahkan oleh
pamong praja/lurah/camat
Dalam hal korban
meninggal dunia, maka santunan meninggal dunia diserahkan langsung kepada ahli
waris korban yang sah, adapun yang dimaksud ahli waris adalah :
a.
Janda atau dudanya yang sah
b.
Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah,
kepada anak-anaknya yang sah
c.
Dalam hal tidak ada Janda/dudanya yang
sah dan anak-anaknya yang sah, kepada Orang Tuanya yang sah
d.
Dalam hal korban meninggal dunia tidak
mempunyai ahli waris, kepada yang menyelenggarakan penguburannya diberikan
penggantian biaya-biaya penguburan
Terdapat hal-hal lain yang perlu
diperhatikan, yaitu :
a. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 Jo PP No 17 Tahun 1965 mengatur:
1) Korban
yang berhak atas santunan yaitu Setiap penumpang sah dari alat angkutan
penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan
alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan
tersebut, yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat
tujuan.
2)
Jaminan Ganda Kendaraan bermotor Umum
(bis) berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry di maksud mengalami
kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi korban diberikan jaminan ganda.
3)
Korban yang mayatnya tidak diketemukan Penyelesaian
santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan
kepada Putusan Pengadilan Negeri.Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Jo
PP No 18 Tahun 1965 mengatur :
a. Korban
Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu :
1) Setiap
orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan
kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan
lalu lintas jalan tersebut, contoh : Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
2) Setiap
orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan ditabrak,
dimana pengemudi kendaran bermotor yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai
penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan bermotor
dan sepeda motor pribadi
b. Tabrakan
Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor
1) Apabila
dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang
mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik
pengemudi mapupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin dalam UU No
34/1964 jo PP no 18/1965
2) Apabila
dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum diketahui pihak-pihak
pengemudi yang menjadi penyebab kecelakaan dan atau dapat disamakan kedua
pengemudinya sama-sama sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, pada prinsipnya
sesuai dengan ketentuan UU No 34/1964 jo PP No 18/1965 santunan belum daat
diserahkan atau ditangguhkan sambil menunggu Putusan Hakim/Putusan Pengadilan
c. Kasus
Tabrak Lari Terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus
kejadiannya
d. Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan Kereta Api
1) Berjalan
kaki di atas rel atau jalanan kereta api dan atau menyebrang sehingga tertabrak
kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang mengalami
kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerata api, maka korban terjamin UU No
34/1964.
2) Pejalan
kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja menerobos
palang pintu kereta api yang sedang difungsikan sebagaimana lazimnya kerata api
akan lewat , apabila tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin oleh UU No
34/1964
No.
|
Sifat
Cidera
|
Santunan
sesuai PMK No. 36/PMK.010/2008
|
1.
|
Meninggal Dunia
|
Rp. 25.000.000,-
|
2.
|
Luka-Luka
|
Rp. 10.000.000,-
|
3.
|
Cacat Tetap
|
Rp. 25.000.000,-
|
4.
|
Biaya Penguburan
(apabila tidak ada ahli waris)
|
Rp. 2.000.000,-
|
Besarnya santunan ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan RI No 36/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari 2008
adalah:
Namun, pemberian hak
pada korban tersebut tidak berarti tidak mengenal batas waktu (kadaluarsa) atau
pengecualian. Hak santunan menjadi gugur / kadaluwarsa jika :
a.
Permintaan diajukan dalam waktu lebih
dari 6 bulan setelah terjadinya kecelakaan.
b.
Tidak dilakukan penagihan dalam waktu 3
bulan setelah hak dimaksud disetujui oleh jasa raharja
Beberapa pengecualian yang dimaksud,
yaitu :
a. Dalam
hal kecelakaan penumpang umum atau lalu lintas jalan
1) Jika
korban atau ahli warisnya telah memperoleh jaminan berdasarkan UU No 33 atau
34/1964
2) Bunuh
diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau
ahli waris
3) Kecelakaan-kecelakaan
yang terjadi pada waktu korban sedang dalam keadaan mabuk atau tak sadar,
melakukan perbuatan kejahatan ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena
korban memiliki cacat badan atau keadaan badaniah atau rohaniah biasa lain.
b.
Dalam hal kecelakaan yang terjadi tidak
mempunyai hubungan dengan resiko kecelakaan penumpang umum atau lalu lintas
jalan
1) Kendaraan
bermotor penumpang umum yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta
dalam suatu perlombaan kecakapan atau kecepatan
2) Kecelakaan
terjadi pada waktu di dekat kendaraan bermotor penumpang umum yang bersangkutan
ternyata ada akibat gempa bumi atau letusan gunung berapi, angin puyuh, atau
sesuatu gejala geologi atau metereologi lain.
3) Kecelakaan
akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung mempunyai hubungan dengan,
bencana, perang atau sesuatu keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh,
sekalipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang turut berperang,
pendudukan atau perang saudara, pemberontakan, huru hara, pemogokan dan
penolakan kaum buruh, perbuatan sabotase, perbuatan teror, kerusuhan atau
kekacauan yang bersifat politik atau bersifat lain.
4) Kecelakaan
akibat dari senjata-senjata perang
5) Kecelakaan
akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan sesuatu perintah, tindakan
atau peraturan dari pihak ABRI atau asing yang diambil berhubung dengan sesuatu
keadaan tersebut di atas, atau kecelakaan yang disebabkan dari kelalaian
sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut.
6) Kecelakaan
yang diakibatkan oleh alat angkutan penumpang umum yang dipakai atau
dikonfliksi atau direkuisisi atau disita untuk tujuan tindakan angkatan
bersenjata seperti tersebut di atas
7) Kecelakaan
yang diakibatkan oleh angkutan penumpang umum yang khusus dipakai oleh atau
untuk tujuan-tujuan tugas angkatan bersenjata.
8) Kecelakaan
yang terjadi sebagai akibat reaksi atom
c. Kecelakaan
tunggal tidak ada lawan sehingga tidak ada yang menjamin, karena sebetulnya
jika kecelakaan 2 kendaraan bermotor yang 1 mendapat santunan (pihak yang tdk
bersalah) dan yang 1 (pihak yang bersalah) tidak mendapatkan secara otomatis
melainkan atas kebijakan Direksi. Hal ini yang tidak banyak diketahui
masyarakat sehingga masyarakat berasumsi bahwa kecelakaan 2 kendaraan bermotor,
kedua-duanya mendapat santunan
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. UU Lalu Lintas
dan Angkutan jalan
secara eksplisit mengatur mengenai
korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana
dijelaskan pada Pasal
240 bahwa korban kecelakaan lalu lintas
berhak mendapatkan,
Pertolongan dan
perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu
lintas dan/atau pemerintah,Ganti kerugian
dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas,
Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.
2. Adapun prosedur untuk mendapatkan
hak-ak korban kecelakaan lalu lintas yaitu,
a. Menghubungi
kantor Jasa Raharja terdekat
b. Mengisi
formulir model K1 pengajuan dengan
melampirkan :
1)
Laporan Polisi tentang kecelakaan Lalu Lintas dari
Unit Laka Satlantas Polres setempat dan atau dari instansi berwenang lainnya.
2)
Keterangan kesehatan dari dokter / RS yang merawat.
3)
KTP / Identitas korban / ahli waris korban.
4)
Formulir pengajuan diberikan Jasa Raharja secara
cuma-Cuma.
B.
Saran
1.
Pengemudi
kendaraan bermotor dan pengguna jalan raya lebih patuh terhadap peraturan lalu
lintas dan lebih tertib dalam berlalu lintas sehingga bisa meminimalisasi
kecelakaan yang disebabkan karena kelalaian Penguna Jalan, serta dalam
pembuatan SIM harus lebih selektif sehingga SIM hanya dimiliki oleh orang yang
cakap mengendarai kendaraan bermotor
2.
Pemerintah
mensosialisasikan mengenai pemberian ganti rugi atau santunan maupun
pertolongan dan perawatan kepada korban kecelakaan lalu lintas darat
[1] http://prabusetiawan.blogspot.com/2009/05/hukum-pengangkutan.html
[2] http://prabusetiawan.blogspot.com/2009/05/hukum-pengangkutan.html
[3] http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukum-pengangkutan.html
[4] http://dc433.4shared.com/doc/Sw-_tq81/preview.html
[5]
Ibid.
[6] Ibid.
[7] http://masriadam.blogspot.com/2012/10/perlindungan-hukum-orban-kecelakaan.html
Tolong cek lagi dasar hukum pengangkutan udara yang terbaru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan)
BalasHapus