Minggu, 11 November 2012

Sejarah Perkembangan Hukum laut



Masa Imperium Romawi
Konsepsi Hukum Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa tepatnya ketika Imperium Romawi menguasai seluruh tepian Laut Tengah. Peraturan- peraturan hukum laut yang dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau III sebelum masehi sangat berpengaruh di laut tengah karena prinsip- prinsipnya diterima dengan baik oleh orang Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad V sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya didasarkan atas peraturan hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV di kawasan laut tengah terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato Del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang- undang Asilka sekitar abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis barat dan kitab undang- undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara[1].
Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu, penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang Romawi cukup ketat.[2]
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak, dengan demikian menimbulkan suatu keadaan dimana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas daripada gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera[3].



Masa Abad Pertengahan
Memasuki abad pertengahan, munculah klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang sebelumnya merupakan bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut minuntut penguasaan atas laut yang berbatasan dengan pantainya[4]. Negara-negara yang mucul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam. Diawali oleh Venetia yang menuntut sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander ke-III dalam tahun 1177. Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana[5].
Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan sekitarnya dan melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrrhenia.
Tiga Negara kecil yang mucul setelah runtuhnya Imperium Romawi di atas hanya merupakan sebagian saja dari contoh negara-negara  di tepi laut tengah yang berusaha melaksanakan kekuasaannya atas Laut Tengah setelah kekuasaan tunggal Romawi lenyap dengan runtuhnya Imperium Romawi. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang bermacam-macam yang dizaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (1) karantina (perlindungan kesehatan), terutama terhadap bahaya penyakit pes (black plague); (2) bea cukai (pencegahan penyelundupan); (3) pertahanan dan netralitas. Sering terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu menyebabkan perlunya negara yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara tentangga-tetangganya untuk menentukan suatu daerah bebas dari tindakan permusuhan. Daerah netralitas ini biasanya ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan negara pantai untuk menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut dengan meriam dari benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal mula dari teori tembakan meriam yang akan dibahas kemudian.
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara darripada laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad pertengahan. Bortolus meletakkan dasar bagi pembagian dua daripada laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan diluar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak akan merupakan dasar bagi pembagian dua daripada laut yang klasik dalam Laut Territorial dan Laut Lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni: (1) pemilkan daripada laut (2) pemakiaian daripada laut (3) yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian yang dilakukan Paus Alexander XII di tahun 1493 dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini yang mulai timbul sejak jatuhnya Constatinopel (sekarang Istambul) ke tangan Turki di tahun 1453.
Hingga saat itu perdagangan antara Timur Jauh (Asia) dan Eropa dilakukan melalui jalan darat dan laut. Barang-barang yang berasal dari Tiongkok, Asia Timur dan Kepulauan Hindia seperti kain sutera, batu permata, permadani dan rempah-rempah diangkut dengan kalifah-kalifahdan kapal-kapal laut melalui India, Persia dan Timur Tengah ke tepi Timur Laut Tengah dan dari sana ke Venetia, Genoa dan lain-lain kota di Italia untuk kemudian disebarkan ke tempat-tempat lain di benua Eropa.
Karena itu dalam abad pertengahan daerah sekitar Laut Tengah merupakan pusat perdagangan antara benua Asia dan Eropa dan kota-kota di Italia berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan yang sangat menguntungkan di Eropa.
Lalu lintas antara kota-kota kerajaan maupun Republik di Italian dan kota-kota di pantai Timur Laut Tengah yang merupakan “terminal” atau tempat tujuan akhir dari kafilah-kafilah yang dating dari Timur Jauh merupakan urat nadi dari pada kehidupan perniagaan pada masa itu. Selain yang disebutkan di atas sebab lain yang menyebabkan dapat terus berlangusngnya perdagangan Timur Tengah ini di tengah-tengah berlakunya perang-perang salib adalah bahwa peperangan diabad pertengahan memang mengecualikan orang sipil termasuk pedagang dari permusuhan apalagi warga dari republik atau kerajaan yang tidak terlibat langsung dalam peperangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa perang-perang salib merupakan salah satu sebab penting daripada peningkatan perdagangan dengan Timur Jauh karena mereka yang kembali dari Timur Tengah inilah yang justru membawa kembali dan memperkenalkan barang-barang mewah dari Timur Jauh itu ke dalam lingkungan bangsawan dan masyarakat Eropa.
Jatuhnya Istambul ke tangan Turki di tahun 1453 memperkuat hasrat bangsa-bangsa di Eropa utnuk menemukan jalan bahkan dapat dikatakan memaksa mereka melakukannya. Orang Portugis yang berhasil sampai ke kepulauan Maluku melalui Samudera Atlantik, Tanjung Harapan dan India menganggap samudera dan lautan yang mereka lalui sebagai milik mereka. Demikian pula orang Spanyol yang sampai juga ke kepulauan Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari bagian selatan benua Amerika menuntut samudera-samudera tersebut sebagai milik mereka.
Dengan demikian maka Piagam yang kedua dari Paus Alexander VI tahun 1493 yang membagi samudera-samudera dan lautan di dunia antara Portugal dan Sapnyol dapat dianggap sebagai usaha untuk mendamaikan klaim-klaim yang saling bertentangan di atas.menurut piagam ini segala laut dan samudera disebelah Barat meridian (garis bujur) yang letaknya kurang lebih 400 mil laut dari kepulauan Azores dinyatakna sebagai milik Spanyol, sedangkan yang sebelah Timur meridian tersebut dinyatakan milik Portugis.
Pembagian laut dan samudera yang dilakukan oleh Portugal dan Spanyol yang terutama merupakan cara untuk melarang pihak lain melakukan pelayaran di laut dan samudera yang bersangkutan rupanya tidak pernah berlaku di daerah lautan Utara benua Eropa di mana terdapat klaim “domino maris” daripada kerajaan Denmark, yang selain pengaturan pelayaran juga, meliputi perikanan dan pemberantasan bajak laut. Satu hal yang menarik klaim Denmark ini adalah kemampuan kerajaan Denmark untuk memaksakannya terhadap pihak-pihak lain dan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan lain seperti misalnya Inggris, Belanda dan Perancis memang mengakui kedaulatan Denmark atas laut antara pantai-pantai Norway di satu pihak dan Denmark serta Greenland di pihak lain.
Kerajaan Inggris masa itu terutama di bawah raja-raja dari Skotlandia juga menganggap lautan sekitar kepulauan Inggris sebagai “dominio maris”. Dorongan utama bagi pendirian ini adalah hasrat untuk melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan-nelayan asing. Untuk maksud lain raja Charles II pernah menyatakan laut diantara kepulauan Inggris (England, Scotland, dan Ireland) sebagai “King’s Chambers” dengan cara pengukuran batas yang menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung ke ujung kepulauan Inggris[6].
Laut Tertutup (more clausum) lawan laut bebas (mare liberium)
Asas kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium yang terbit di tahun 1609. buku ini yang mempunyai subjudul “on the right of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda – atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol – untuk mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama raja James I dari Inggris telah mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda utnuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya ditujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan rekasi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “battle of the books”
Para penulis Inggris, Potrugal dan Spanyol yang menentang pendapat Grotius mengemukakan bahwa laut itu dapat dimiliki oleh setiap negara. Sarjana-sarjana tersebut seperti misalnya John Shleden dari Inggris dengan bukunya Mare Clausum (Laut Tertutup) yang membela dan mempertahankan klaim Inggris atas Laut Utara. Demikian pula dengan sarjana Inggris lain seperti William Wellwood dalam bukunya Abridgement of All Sea Law (1613) menentang keras pandangan Grotius.
Tentu saja antara kedua pendapat yang ekstrim itu agak sukar untuk diterima semua pihak dan akhirnya memang jalan kompromi yang mempertemukan kedua pandangan tersebut yakni pada tahun 1704 seorang sarjana hukum berkebangsaan Belanda Cornelis Von Bynkershoek dalam bukunya De Dominia Maris Dissertatio (suatu essay tentang kekuasaan atas laut) mengusulkan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi: “terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis”(kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “battle of the books” antara doktrin “mare liberium” dan “mare clausum”[7].
 Toeri Jarak Tembakan Meriam (Lebar Laut Territorial)
Pada tahun 1702, byikershoek menerbitkan karyanya mengenai kedaulatan atas laut, dalam karyanya ini menyetujui peraturan bahwa negara pesisir dapat menguasai laut sebatas lebar perairan pantai sejauh tembakan peluru meriam pantai, yaitu kurang lebih 3 mil. Batas 3 mil ini mendapatan pengakuan luas dari para ahli hukum, juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapatkan pengesahan dalam praktek negara-negara maritim utama.  Yang menjadi soal lainnya dalam hukum laut internasional adalah apakah laut dapat dimiliki oleh suatu negara atau tidak. Selama ini, sejarah hukum laut internasional dua konsepsi pokok, yaitu:
a. Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang memilikinya dan oleh karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki masing-masing negara[8].
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam; (2) ukuran pandangan mata; (3) ukuran “marine league”. Baru jauh kemudian ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut territorial yang berlaku umum. Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula kaedah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
Pada tahun 1782 dua orang sarjana hukum berkebangsaan Itali Galiani dan Azuni mengusulkan agar lebar laut territorial suatu negara sejauh tiga mil diukur dari pantai. Jarak tiga mil yang diusulkan ini berkaitan dengan persoalan netralitas yang menjadi persoalan hangat pada waktu perang Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776-1782. Pada waktu itu berkembang pendapat bahwa perang di laut tidak boleh dilakukan dalam jarak tiga mil dari pantai negara netral. Tampaknya jarak tiga mil ini sama dengan jarak tembak meriam pada waktu itu. Kemudian jarak tiga mil ini mulai diterima oleh para ahli hukum dan negara-negara. Banyak negara yang menetapkan lebar laut territorialnya sejauh tiga mil dari pantai diukur pada waktu air laut surut. Untuk sementara waktu sudah mulai ada kepastian tentang lebar laut territorial ini. Namun lebar laut territorial ini tidak lama bertahan. Pada awal abad XIX beberapa negara mulai mengklaim lebar laut territorial yang melebihi tiga mil. Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad XX. Masa ini boleh dikatakan sebagai puncak perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar laut territorial. Usaha untuk menetapkan lebar laut territorial yang saragam bagi semua negara terus dilakukan. Mulai dari pendapat-pendapat para sarjana, kemudian disusul oleh organisasi-organisasi internasional independent seperti ;Institute of International Law, International Law Association, American Society of International Law dan lain sebagainya dan akhirnya oleh organisasi internasional yang anggotanya negara-negara seperti Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nemun semuanya ini tidak ada yang berhasil menetukan lebar laut territorial[9].
Konferensi Den Haag 1930
Pada tahun 1930 diadakanlah Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag atas prakarsa dari Liga Bangsa-Bangsa. Salah satu materi hukum internasional yang hendak dikodifikasikan adalah lebar laut territorial. Akan tetapi Konferensi Den Haag 1930 gagal mencapai kata sepakat lebar laut territorial. Akibatnya lebar laut territorial negara-negara tetapi tidak seragam[10].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar