Kamis, 13 Juni 2013

Biografi Norman Edwin (Beruang Gunung) Dari Indonesia

"Gua akan terus berjalan dan lo masih tertarik, lo pasti akan senang mendengar cerita-cerita gwa. Karena gwa sering cerita orang-orang akan merasa akrab dan bila tiba saatnya gwa mati gantian orang-orang yang akan cerita tentang gwa" (Norman Edwin)

Itulah kata pembuka di buku biografinya Norman Edwin yang dikarang oleh Ganezh dan diterbitkan oleh Penerbit Andi. Buku yang menceritakan kisah hidup seorang pendaki handal, bertalenta dan multidimensi yang pernah di miliki bangsa Indonesia, Norman Edwin yang dikenal tidak hanya sebagai pendaki gunung saja sekaligus sebagai caver ulung, rafter, skipper handal dan berbagai skill-skill petualangan lainya ia miliki.Juga cerita mengenai petualangannya untuk menjadi Seven Summiters yang pertama di Asia Tenggara.Namun, tragis, Sang beruang gunung itu harus tewas dipelukan Devil Winds di Mt.Aconcagua, Amerika Selatan -Ekspedisi ini adalah ekspedisi kelima dari tujuh rangkaian pendakian puncak-puncak tertinggi ditiap benua- pada ketinggian 6.700 mdpl bersama rekannya Didiek.
BIOGRAFI SI BERUANG GUNUNG
Ia diketemukan tewas tertelungkup di bawah timbunan salju, tangannya Menggenggam erat kapak es dan seakan sedang menancapkan kapak es itu guna menahan tubuhnya yangditutupi salju di ketinggian 6.700 meter,  hanya sekitar 200 meter dari puncak Aconcagua!

Kalimat di atas adalah cuplikan dari kalimat beberapa media massa bahkan media televisi,yang mengabarkan tewasnya seorang petualang asal Indonesia, Norman Edwin, si Beruang Gunung. Kalangan pecinta alam Indonesia pun disaput duka. petualang sejati yang paling handal dan diandalkan juga paling kharismatis itu telah 'pergi' didampingi sahabat sejatinya si Samson, Didiek Samsu. Dia telah menyatu dengan alam yang dicintainya. Kepala tertunduk dan air mata pun menetes mengiringi kepergiannya. Seluruh media massa nasional memberitakan `kepergiannya'. Tetapi jejaknya telah ia tinggalkan, berpenggal kenangan ia berikan. Indonesia pun kehilangan salah satu `pahlawan gunungnya' yang cukup dikenal dunia. Kisah hidup dan petualangannya menjadi kenangan tersendiri dalam hati keluarga, Mapala UI dan rekan-rekan sepetualangannya, serta dalam sejarah petualangan Indonesia. Mungkin orang-orang yang belum kenal mereka akan bertanya-tanya, siapakah Norman Edwin itu? Koq, berita kematiannya begitu menghebohkan, menggemparkan, sempat bikin sibuk dua kedutaan Argentina dan Chile? Menyibukkan beberapa orang menteri bahkan `menggugah' perhatian Presiden Soeharto kala itu?

Norman Edwin, anak lelaki yang berdarah Palembang-Cirebon. Sejak kecil dia sudah menyukai kegiatan yang berbau petualangan. Ketika SMA, dia sudah beberapa kali melakukan pendakian gunung. Hingga kegiatan pendakiannya makin menggila ketika ia bergabung dengan Mapala UI. Bisa dikatakan, Norman hampir menguasai seluruh bidang petualangan di alam bebas. Pada waktu itu dunia petualangan berupa kegiatan mendaki gunung (hiking), panjat tebing (rock climbing), telusur goa (caving), berlayar (sailing), arung jeram (rafting), menyelam (diving) atau terjun payung. Dari semua dunia itu, hanya diving dan terjun payung kiprah Norman tidak begitu santer terdengar. Norman Edwin, si Beruang Gunung, petualang sejati yang paling handal dan diandalkan juga paling kharismatis. Ia juga bukan petualang karbitan yang heboh waktu berhasil mendaki sebuah gunung setelah itu hilang lenyap, tak ada lagi berita aktivitas kelanjutannya. Karena Norman itu orang yang konsisten dan disiplin. Ia juga sosok yang humoris, sekaligus `guru' yang rendah hati dan jadi idola sekian banyak pecinta alam. Tak jarang ia diundang oleh perkumpulan- perkumpulan pecinta alam untuk menjadi instruktur mereka, membagi cerita dan pengalaman petualangannya. Atau kiprah nyata dia dalam memimpin proses evakuasi, operasi SAR korban hilang di gunung. Ia menjadi orang pertama yang mempopulerkan arung jeram serta telusur goa di Indonesia. Ia juga menjadi satu-satunya orang Indonesia yang memiliki sertifikat lisensi teknik penyelamatan goa dari Ameika Serikat. Ia petualang Indonesia (pada masa itu) yang sudah merambahi benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa, Australia, hingga daerah Alaska.

Norman juga tak hanya dikenal sebagai seorang petualang yang tangguh, ia merupakan seorang yang piawai dalam dunia jurnalistik. Baik motret atau pun membikin tulisan. Ia memang sempat jadi wartawan Mutiara, Suara Alam dan Kompas. Belum lagi tulisan-tulisannya yang tersebar ke berbagai media massa. Gaya tulisan Norman memiliki ciri khas yang unik. Tulisannya yang jujur, tegas, terbuka dan berani dalam mengungkapkan berbagai titik permasalahan. Dia selalu menuliskan kejujuran, meski terkadang dianggap kontroversi. Tak perduli itu akan membikin panas telinga beberapa pihak. Namun itulah yang mematangkan dunia tulis menulis Norman. Norman tak hanya menceritakan berita petualangannya saja yang lokal maupun internasional itu saja. Tapi ia selalu menulis berita informasi yang lengkap dan dengan gaya tulisan yang manis. Kadang ia juga menyelipkan nasehat cara-cara yang baik untuk bergiat di alam bebas. Jadi tak melulu menceritakan kegagahannya di alam bebas. Hingga ketulusan Norman dalam memperkenalkan kegiatan alam bebas makin dipertegas dengan menerbitkan sebuah buku karangannya yang berjudul "Mendaki Gunung adalah Sebuah Tantangan Petualangan", terbitan PT. Aya Media pada tahun 1987. Ia memang telah mempopulerkan olah raga di alam bebas di kalangan generasi muda lewat tulisannya di berbagai media massa, juga melalui seminar dan berhasil menggerakkan mereka untuk kembali mencintai alam, mengajarkan bagaimana menggiati dunia petualangan yang baik dan sehat bagi remaja serta buku buah karya Norman itu juga telah merembesi sekian banyak pecinta alam muda Indonesia.Ia juga yang berambisi mengangkat nama Indonesia dengan program Seven Summit mendaki serta mengibarkan Sang Saka Merah Putih di tujuh puncak dari tujuh benua. Ia makin dikenal di dalam maupun luar negeri. 

Perlu diketahui juga, bila sedang berkunjung ke luar negeri Norman dan rekan-rekannya tak pernah jemu untuk selalu memperkenalkan Indonesia ke negara yang dikunjunginya—terutama mempromosikan daerah wisata di Indonesia. Empat puncak berhasil didaki secara spartan, yakni puncak Carstensz Pyramide, McKinley, Elbrus, Kilimanjaro hingga ekspedisi puncak benua yang ke 5, yakni gunung Aconcagua. Hingga berita buruk itu pun, tersiar bahwa tim ekspedisi Mapala UI mengalami musibah di gunung yang berada di Amerika Selatan, perbatasan Chile,Argentina tepatnya. Tim Norman memang banyak mengalami kendala di lapangan, hingga tersiar kabar yang lebih menyakitkan lagi. Bahwa Didiek Samsu—salah seorang teman seperjalanannya—ditemukan dalam keadaan tewas dan Norman dinyatakan hilang tak tahu arahnya, hingga akhirnya diketemukan oleh pendaki Austria dalam keadaan tewas, hanya 200 meter dari puncak Aconcagua! Ia 'pergi' dengan damai bersama sahabat sejatinya—si Samson, Didiek Samsu—meninggalkan segalanya, ia telah menyatu dengan alam yang dicintainya. Kepala tertunduk dan air mata pun menetes mengiringi kepergiannya. Ternyata merasa kehilangan itu tak hanya dimiliki oleh keluarga mereka, Mapala UI atau teman-teman dekat mereka saja, tapi kehilangan bagi seluruh penggiat alam bebas di segenap penjuru Tanah Air. Indonesia pun kehilangan salah satu `pahlawan gunungnya' yang cukup dikenal dunia. Tetapi jejaknya telah ia tinggalkan, berpenggal kenangan ia berikan. Maka tak salah bila kita ingin mewarisi niat dan semangatnya yang menggelora. Norman Edwin memang sosok yang pantas untuk dikenal sekaligus dikenang. Waktu itu, hampir semua TV serta surat kabar daerah dan nasional ramai memberitakan tentang musibah yang mereka alami. Kisah hidup dan petualangannya menjadi kenangan tersendiri dalam hati keluarga, Mapala UI dan rekan-rekan sepetualangannya, serta dalam sejarah petualangan Indonesia.

Sumber : http://heryk-adventure.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar