A. Sejarah hukum kepailitan
Hukum kepailitan sudah ada sejak
zaman Romawi. Kata “ bangkrut”, dalam bahasa Inggris disebut “Bangkrupt”
, berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca nipta . Sementara itu,
di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan
penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri
secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor.
Bagi Negara-negara dengan tradisi
hukum common law, di mana hukum berasal dari Inggris Raya, tahun 1952
merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebu hukum pailit dari tradisi
hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris.
Peristiwa ini ditandai dengan
diundangkannya sebuah undang-undang yang disebut Act Againts Such Person As
Do Make Bangkrup oleh parlemen di masa kekaisaran raja Henry VIII.
Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal
yang ngemplang untuk membayar utang sembari menyembunyikan aset-asetnya.
Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor secara individual.
Sementara itu, sejarah hukum pailit
di AS dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan kongres
memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan uniform mengenai kebangkrutan.
Hal ini diperdebatkan sejarah diadakannya constitutional convention di
Philadelphia pada tahun 1787. Dalam the Federalis Papers, seorang founding
father dari Negara Amerika serikat, yaitu James Medison, mendiskusikan apa
yang disebut Bankrupcy clause. Kemudian, kongres
pertama kali mengundangkan undang-undang tentang kebangkrutan pada tahun 1800,
yang isinya mirip dengan undang-undang kebangkrutan di Inggris pada saat itu.
Akan tetapi, selama abad ke-18, di beberapa Negara bagian USA telah ada
undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitor yang
disebut insolvency law. Selanjutnya, undang-undang federasi AS tahun
1800 tersebut diubah atau diganti beberapa kali. Kini di USA hukum kepailitan
diatur dalam Bankrupcy.
B. sejarah berlakunya kepailitan di
Indonesia
Dalam
sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi menjadi tiga
masa, yakni:
Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku. Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku. Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
- Wet Book Van Koophandel atau WvK
- Reglement op de Rechtvoordering (RV)
Sejarah
masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek
Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan
Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III
KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan
kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan
mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang
berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348
Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana
Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan
Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui
karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa
Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan
(UUPK).
Undang-Undang
Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu
yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau
berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini
sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh
Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada
masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan
Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.
Pada
tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan
banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu
PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang
Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU
itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU
ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam
perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan
yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.
Perkembangan Substansi Hukum
Terdapat sebahagian perubahan
mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan
kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
- Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
- Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
- Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.
- Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.
- Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.
Masa
berlakunya Faillisements Verordening. Selanjutnya mengenai
kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb.
1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku
bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
- Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang.
- Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan
ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi
ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak
kesulitan antara lain adalah:
- Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,
- Biaya tinggi,
- Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan
- Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh
karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak
biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217)
untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.
Masa
berlakunya Faillisements Verordening . Selanjutnya mengenai
kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb.
1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku
bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556). kesulitan
yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha
dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi
kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya
telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan
akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang
haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan
penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb.
1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements
Verordeningmasih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu,
kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin
mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil,
terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar
penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian
dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements
Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU
tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4
Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September
1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.31. Masa
Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun
1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan
yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk
menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun
pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
- Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
- Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
C. PENGERTIAN KEPAILITAN
Pailit
dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak
mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt
sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud
memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian
adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak
dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk
dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut
Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan
Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah
sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan
pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua
kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
D.
DASAR HUKUM (Pengaturan) KEPAILITAN DI INDONESIA
Adapun pengaturan mengenai
kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:
- UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
- UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
- UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
- UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
- Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
- Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)
E.
TUJUAN KEPAILITAN
Sebagaimana dikutip oleh Jordan el
al. dari buku The Early History of Bankruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E.
Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut:20
All bankruptcy law, however, no
matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in
view. It aims first, to secure an equitable division of the insolvent debtor's
property among all his creditors, and in the second place, to prevent on the
part of the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his
creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors,
first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the
protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge,
is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by
no means a fundamental feature of the law.
Maka
dari itu, beberapa tujuannya adalah:
-
Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para
kreditornya,
-
Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para Kreditor.
-
Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para
Kreditomya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Menurut
Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip
oleh Jordan et al, tujuan semua Undang-undang Kepailitan (bankruptcy laws)
adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari
berbagai penagih terhadap aset seorang Debitor yang tidak cukup nilainya (
"debt collection system.")
Maka dari itu tujuan-tujuan dari
hukum kepailitan adalah:
1.
Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan
berlakunya asas jaminan, bahwa "semua harta kekayaan Debitor baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan
ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan Debitor", yaitu
dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi
tagihan-tagihannya terhadap Debitor. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan
tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan
terjadinya saling rebut di antara para Kreditor terhadap harta Debitor
berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan,
maka akan terjadi Kreditor yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih
banyak daripada Kreditor yang lemah.
2.
Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para Kreditor sesuai
dengan asas pari passu (membagi secara pro-porsional harta kekayaan Debitor
kepada para Kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan
besarnya tagihan masing-masing Kreditor tersebut). Di dalam hukum Indonesia,
asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.
3. Mencegah
agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para Kreditor. Dengan dinyatakan seorang Debitor pailit, maka
Debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan
memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum
dari harta kekayaan Debitor menjadi harta pailit.
4. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum
kepailitan memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para
Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan
Amerika Serikat, seorang Debitor perorangan (individual debtor) akan dibebaskan
dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi
terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah
dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh
utang-utangnya kepada para Kreditornya, tetapi Debitor tersebut tidak lagi
diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada Debitor tersebut diberi
kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitor tersebut dapat
memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang
menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. Menurut US Bankruptcy
Code, financial fresh start hanya diberikan bagi Debitor pailit perorangan
saja, sedangkan bagi Debitor badan hukum financial fresh start tidak diberikan.
Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan
perusahaan Debitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.
Menurut
UU Kepailitan, financial fresh start tidak diberikan kepada Debitor, baik
Debitor perorangan maupun Debitor badan hukum setelah tindakan pemberesan oleh
Kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau
likuidasi terhadap harta kekayaan Debitor selesai dilakukan oleh Kurator dan
ternyata masih terdapat utang-utang yang belum lunas, Debitor tersebut masih
tetap harus menyelesaikan utang-utangnya. Setelah tindakan pemberesan atau
likuidasi selesai dilakukan oleh Kurator, Debitor kembali diberikan kewenangan
untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya
Debitor boleh kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi Debitor tetap pula
berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas itu.
5. Menghukum
Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami
keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi
dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam Undang-undang Kepailitan
Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur
di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan KUH Pidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu
di-muat di dalam Undang-undang Kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang
bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan
ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986P.
6. Memberikan
kesempatan kepada Debitor dan para Kreditornya untuk berunding dan membuat
kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang Debitor. Dalam Bankruptcy Code
Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di
dalam Undang-undang Kepailitan Indonesia kesempatan bagi Debitor untuk mencapai
kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para Kreditornya diatur dalam
BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar