Kamis, 21 Maret 2013

Dasar-Dasar Kepailitan


A. Sejarah hukum kepailitan
Hukum kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi. Kata “ bangkrut”, dalam bahasa Inggris disebut “Bangkrupt” , berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca nipta . Sementara itu, di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor.
Bagi Negara-negara dengan tradisi hukum common law, di mana hukum berasal dari Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebu hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris.
Peristiwa ini ditandai dengan diundangkannya sebuah undang-undang yang disebut Act Againts Such Person As Do Make Bangkrup oleh parlemen di masa kekaisaran raja Henry VIII. Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang ngemplang untuk membayar utang sembari menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor secara individual.
Sementara itu, sejarah hukum pailit di AS dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan kongres memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan uniform mengenai kebangkrutan. Hal ini diperdebatkan sejarah diadakannya constitutional convention di Philadelphia pada tahun 1787. Dalam the Federalis Papers, seorang founding father dari Negara Amerika serikat, yaitu James Medison, mendiskusikan apa yang disebut Bankrupcy clause. Kemudian, kongres pertama kali mengundangkan undang-undang tentang kebangkrutan pada tahun 1800, yang isinya mirip dengan undang-undang kebangkrutan di Inggris pada saat itu. Akan tetapi, selama abad ke-18, di beberapa Negara bagian USA telah ada undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitor yang disebut insolvency law. Selanjutnya, undang-undang federasi AS tahun 1800 tersebut diubah atau diganti beberapa kali. Kini di USA hukum kepailitan diatur dalam Bankrupcy.
B. sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia
Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi menjadi tiga masa, yakni:
Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku. Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
  1. Wet Book Van Koophandel atau WvK
  2. Reglement op de Rechtvoordering (RV)
Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).
Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.
Perkembangan Substansi Hukum
Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
  1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
  2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
  3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.
  4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.
  5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.
Masa berlakunya Faillisements Verordening. Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).
  1. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang.
  2. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:
  1. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,
  2. Biaya tinggi,
  3. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan
  4. Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.
Masa berlakunya Faillisements Verordening . Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556). kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordeningmasih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.31. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
  1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
  2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
C. PENGERTIAN KEPAILITAN
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
D. DASAR HUKUM (Pengaturan) KEPAILITAN DI INDONESIA
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:
  • UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
  • UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
  • UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
  • UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
  • Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
  • Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)
E. TUJUAN KEPAILITAN
Sebagaimana dikutip oleh Jordan el al. dari buku The Early History of Bankruptcy Law, yang ditulis oleh Louis E. Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut:20
All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims first, to secure an equitable division of the insolvent debtor's property among all his creditors, and in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law.

Maka dari itu, beberapa tujuannya adalah:
- Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya,
- Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor.
- Memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditomya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan et al, tujuan semua Undang-undang Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang Debitor yang tidak cukup nilainya ( "debt collection system.")

Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah:
1.         Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa "semua harta kekayaan Debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan Debitor", yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap Debitor. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para Kreditor terhadap harta Debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, maka akan terjadi Kreditor yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada Kreditor yang lemah.

2.         Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para Kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara pro-porsional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditor tersebut). Di dalam hukum Indonesia, asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.

3.     Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor. Dengan dinyatakan seorang Debitor pailit, maka Debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan Debitor menjadi harta pailit.

4.     Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang Debitor perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para Kreditornya, tetapi Debitor tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada Debitor tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitor tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. Menurut US Bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan bagi Debitor pailit perorangan saja, sedangkan bagi Debitor badan hukum financial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan Debitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.

Menurut UU Kepailitan, financial fresh start tidak diberikan kepada Debitor, baik Debitor perorangan maupun Debitor badan hukum setelah tindakan pemberesan oleh Kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan Debitor selesai dilakukan oleh Kurator dan ternyata masih terdapat utang-utang yang belum lunas, Debitor tersebut masih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya. Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai dilakukan oleh Kurator, Debitor kembali diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya Debitor boleh kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi Debitor tetap pula berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas itu.

5.        Menghukum Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam Undang-undang Kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan KUH Pidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu di-muat di dalam Undang-undang Kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986P.

6.     Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para Kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang Debitor. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam Undang-undang Kepailitan Indonesia kesempatan bagi Debitor untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para Kreditornya diatur dalam BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar