PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
Masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku
bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur
persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik
perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan
perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu,
sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dikatakan
secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan batasan
yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat
ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya
yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk memenuhi
berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan
sehat tersebut.
Sebuah undang-undang yang secara khusus
mengatur persaingan dan anti monopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para
pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pernerintah.
Pernah suatu ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 menelurkan
konsep Rancangan Undang-undang tentang Anti monopoli. Demikian pula Departernen
Perdagangan yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
pernah membuat naskah akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan
Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan. inisiatif
tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa-rnasa itu
belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa
untuk mengatur masalah persaingan usaha.
Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu
sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu:
1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan
besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan.
Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian
menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi perlakuan
khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian proteksi yang dapat menghalangi
masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain
mernberikan posisi monopoli;
2. Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena
perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa
fasilitas monopoli dan proteksi, Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor
untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3. Untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN
demi kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat-pejabat yang
berkuasa pada waktu itu.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita
jalankan selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan
oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan
atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada
kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta
sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh
penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat
mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan
usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa
yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi.
Di sisi lain, sebagian besar perkembangan
usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan
didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk
keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang
memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan
corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite
kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan
kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat
yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor
yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu
bersaing. Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing
dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Lebih ironis lagi, perilaku dari
pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah memperoleh
perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak bertanggung
jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional
yang sangat parah. Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan
dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun negara per negara.
Ketergantungan pada bantuan asing, ini mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai
persyaratan yang disepakati bersama semuanya rneletakkan Indonesia pada posisi
yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang berkaitan
dengan persyaratan utang luar negeri itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi
pernbuatan undang-undang yang sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam
kondisi normal tidak akan dibentuk pada umumnya ini telah terjadwal di antara
Indonesia dengan IMF.
Di samping merupakan tuntutan
nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha merupakan tuntutan atau kebutuhan
rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis Antar bangsa. Dari sisi kehidupan
nasional jelas bahwa basis kultural (asas kekeluargaan) dan konstitusional
(demokrasi ekonomi) kita mernang sama sekali menolak prakrik-praktik
monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan
antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang
mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antar bangsa di berbagai
bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu
(peraturan) baku dalam bisnis antar bangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC,
AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya. Para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan
(the state 0/competition) dalam pasar domestik merupakan hal yang sangat
penting dari suatu kebijakan publik (public policy), khususnya
untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar internasional, serta
untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar
domestik. Dengan demikian tujuan dari kebijakan persaingan nasional adalah
untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam
kerangka ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya
mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan"
(promotion) dari kondisi persaingan dan "kebebasan memilih" untuk mengurangi dan melarang konsentrasi
kekuatan-kekuatan ekonomi Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan negara
untuk mengembangkan dan memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi
menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara,
yang membutuhkan harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super
national ofregionalstandards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EC)
juga masih terus mengembangkan apa yang dinamakan "Minimum Competition
Policy Requirements Within the Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN
pun, tanpa mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik,
dan sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di
samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan
komersial, termasuk hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN Doktrin yang
berlaku pada masa lalu, yang secara absolut menyatakan bahwa hukum ekonomi itu
bersifat value loaded, yang dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa,
tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi.
Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar
menumbuhkan perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international
dimension of antitrust and the fit between competition policy and the
world trading system. Dalam kerangka ini, muncul antitrust family
(international) linkages ofmarket economies. Beberapa negara sudah
mengatur rambu-rambu persaingan usaha yang sehat dalam hukum nasional
masing-masing. Amerika Serikat untuk pertama kali
pada tahun 1890 telah mengatur persaingan usaha yang sehat dalam Act to
Protect Trade and Commerce Against Unlawful Restraints and Monopolies (Sherman
Act), yang beberapa kali telah disempurnakan, terakhir dengan Robinson Patrnan
Act tahun 1936. Demikian pula di ]epang, untuk pertama kali pengaturan
persaingan usaha dituangkan dalam Shiteki dokusen no kinshi oyobi kosei
torihiki ni kansuru horitsu (Law concerning the prohibilition ofprivate
monopoly andpreservation of fair trade), yang beberapa kali
mengalami perubahan. Bagi negara ]erman, pengaturan persaingan usaha dapat
dijumpai dalam Act to Unfair Competition 1909. Negara Filipina
juga telah mengatur persaingan usaha ini dalam Penal Code-nya.
PERJANJIAN YANG DILARANG
1. Perjanjian Penetapan Harga
Perjanjian Harga Horizontal (Price Fixing)
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 1999 melarang pelaku usaha
untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan/atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya. Dalam Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Berdasarkan kerentuan Pasal 5 ayat
(1) ini, pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa
yang akan diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti
itu akan meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian
tersebut.
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan
(joint venture), contohnya PT X dan PT Y mengadakan suatu usaha patungan
dengan mendirikan PT A, di mana PT X dan PT Y diperkenankan untuk menentukan
sendiri besarnya harga jual barang yang diproduksi PT A tersebut;
b. suatu perjanjian yang didasarkan
undang-undang yang berlaku, contohnya penentuan harga jual bahan bakar minyak
(BBM) yang dilakukan oleh Pemerintah.
2. Diskriminasi Harga Dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price
discrimination) disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pasal 6 . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebur menyatakan bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu hams
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang hams dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan/atau jasa yang sama. Berdasarkan ketentuan Pasal 6
tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu hams
membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang hams dibayar
pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan
persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak
persaingan usaha. Pada pasar tertentu, produsen dapat menetapkan harga yang mungkin
menghasilkan laba yang jauh lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen
hanya rnenetapkan satu harga untuk semua konsumen. Strategi penetapan harga
yang berbeda 'ini juga dapat merusak persaingan usaha. Salah satunya menerapkan
diskriminasi harga.
3.
Perjanjian
Pembagian Wilayah
Perjanjian price fixing bukan
satu-satunya cara mengontrol harga. Cara lain yang walaupun tidak secara
langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku usaha untuk
tidak saling berkompetisi satu sama lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran
barang atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, pertama,
pelaku usaha dapat membagi pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau
kelas pelanggan atau konsumen dan ketiga, mereka bisa membagi pasar
berdasarkan jenis produk yang Dikeluarkan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market
allocation), baik yang bersifat vertikal atau horizontal. Dalam Pasal9
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan
Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika isi
perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran ata
alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan/atau jasa, di mana perjanjian
itu dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi
persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah
pemasaran di sini dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian
wilayah negara Republik Indonesia, misalnya provinsi, kabupaten/kota, atau
wilayah regional yang lain. Membagi wilayah. Pemasaran atau alokasi pasar itu
berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang,
dan jasa tertentu. Perjanjian seperti ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat. Dari .ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian pembagian wilayah tidak
termasuk per se illegal; oleh karena itu perjanjian yang demikian hanya
dilarang apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat
perjanjian untuk melakukan
pemboikotan (boycott). Pemboikotan ini
merupakan perjanjian horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak mengadakan
hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Larangan membuat perjanjian
pemboikotan ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang
rnenetapkan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lainuntuk melakukan
usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian dengan
pelakuusaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha lain, sehingga perbuatan tersebur
a. merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain
; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan. Pernboikotan seperti yang
diatur dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat menutup akses
kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain.
5. Kartel
Seringkali suatu industri hanya mempunyai
beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka
untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi
mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk membatasi
tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama di antara
mereka. Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan yang
memgikan mereka sendiri . Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok
industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat keuntungan yang
maksimal bila mereka secara bersama berlaku sebagai monopolis. Dalam
praktikriya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut
asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan
bersama mengenai tingkar produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran, dan
sebagainya , yang kemudian melahirkan kartel, yang dapat pula mengakibatkan
terciptanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Kamus
Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan kartel (carte/) sebagai
"persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk
sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta
untuk memperoleh posisi monopoli". Dengan demikian, kartel rnerupakan
salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu
untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas
suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi
persaingan. Larangan membuat perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang rnenetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang
berinaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suam
barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
6. Trust
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang
pelaku usaha membuat perjanjian trust, yang melahirkan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam Pasal 11. ini dinyatakan: Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan/ atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang
dilarang adalah perjanjian untuk rnelakukan kerja sama dengan cara membentuk
apa yang dinamakan trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi, dengan rujuan
menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat
pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, dan dengan
sendirinya akan dapat menciptakan monopolisasi; dengan demikian pasar menjadi
tidak kompetitif lagi, sebab di antara pelaku usaha tidak ada persaingan usaha
lagi.
7.
Oligopsoni
Demikian pula pelakir usaha dilarang membuat
perjanjian oligopsoni, di mana keadaan pasar yang permintaannya dikuasai oleh pelaku
usaha tertentu. Larangan ini dicantumkan dalam -Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang menyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersarna-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau
jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara
bersama-sama menguasai pembelian dan/arau penerimaan pasokan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (riga) pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian, berdasarka ketentuan
Pasal 11 tersebut, dapat disimpulkan yang terkena larangan membuat perjanjian oligopsoni
adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain, yang
bertujuan:
1. secara bersama-sarna;
2. menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan atas
suatu barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
3. dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau
barang dan jasa dalam pasar yang bersangkutan;
4. menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pangsa pasar adalah persentase
nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha
pada pasar bersangkutan dalam kalender tertentu;
5. perjanjian yang dibuat tersebut ternyara dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Berarti perjanjian oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang tidak menimbulkan
monopolisasi dan/atau tetap menciptakan pasar kompetiif dan/atau tidak
merugikan masyarakat.
8. Integrasi Vertikal
Praktik integrasi vertikal yang dilakukan
beberapa pelaku usaha termasuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa pelaku usaha dilarang mernbuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertenru yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Dari ketencuan Pasal 14 ini jelas
bahwa yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah penguasaan produksi atas
sejumlah produk, yang termasuk dalam. rangkaian proses produksi atas barang
tertentu, mulai dari hulu sampai hilir, atau proses yang berlanjut atas suatu
layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Meskipun praktik integrasi vertikal
ini dapat menghasilkan barang dan/atau jasa dengan harga murah, hal itu dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merusak sendi-sendi
perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, praktik integrasi vertikal dilarang
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sepanjang menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan /atau merugikan masyarakat. Dengan adanya Pasal 14 ini,
berbagai bidang usaha yang mungkin sangat menguntungkan dan efisien dilakukan
di Indonesia justru tidak dapat dikerjakan. Integrasi vertikal suatu usaha tidak
selalu buruk, malah sebenarnya usaha integrasi dilakukan
untuk meningkatkan efisiensi. Integrasi yang dilakukan di
masa lalu mungkin buruk dan beberapa di antaranya merugikan masyarakat-karena
dalam banyak hal integrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan tertentu-sehingga merugikan kelompok masyarakat tertentu
pula.
9. Perjanjian Tertutup
Perjanjian rertutup termasuk perjanjian yang
dilarang dibuat pelaku usaha. Pasal 15 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang
pelaku usaha unruk membuat perjanjian tertutup dengan pelaku usaha lainnya.
Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang mernuat persyaratan bahwa pihak yangmenerima barang
dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau
jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada ternpat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak
lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian mengenai
harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku
usaha pemasok.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang
pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri jika perjanjian tersebut
dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal
ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Dari Pasal 16 ini dapat disimpulkan bahwa
perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang dibuat pelaku
usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat
menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
KEGIATAN YANG DILARANG
1.
Pengertian Kegiatan
Berbeda dengan istilah "perjanjian"
yang dipergunakan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dapat kita
temukan suatu definisi mengenai "kegiaran". Namun demikian, jika
ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi perjanjian yang
diberikan dalam Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999, dapat dikarakan bahwa pada
dasarnya yang dimaksud dengan "kegiatan" adalah tindakan atau
perbuatan hukum "sepihak" yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelak~ usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara
langsung dengan pelaku usaha lainnya Dari
sini jelaslah bahwa "kegiatan" merupakan suatu usaha, aktivitas,
tindakan, atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha
tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya.
Bentuk-Bentuk Kegiatan yang Dilarang
a. Monopoli
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
pengertian "monopoli" dibedakan dari pengertian "praktik
rnonopoli". Pengertian praktik monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, yaitu pemusatan kekuatan ekonomi oleb satu atau
lebih pelaku usaba yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara
itu pengertian monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, yaitu penguasaan atas produksi danlatau pemasaran barang
danlatau jasa tertentu oleb satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usahk. Dengan demikian, monopoli adalah situasi pasar di mana hanya ada
satu pelaku usaha atau satu ke1ompok pelaku usaha yang "rnenguasai"
suatu produksi dan/ atau pemasaran barang dan/arau penggunaan jasa tertentu, yang
akan ditawarkan kepada banyak konsumen, yang mengakibatkan pe1aku usaha atau ke1ompok
pelaku usaha tadi dapat mengontrol dan mengendalikan tingkar produksi, harga,
dan sekaligus wilayah pemasarannya. Dari ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor
5 Tahun. 1999 dapat disimpulkan, ternyata tidak semua kegiatan monopoli dilarang.
Hanya kegiatan monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria yang disebutkan dalam
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 saja yang dilarang dilakukan oleh
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha Pasal 17 Undang-Undang. Nomor 5
Tahun 1999 menyatakan
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini apabila
a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau saru kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu, Monopoli yang dilarang menurut Pasal 17 ini jika monopoli tersebut
mernenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a. melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang,
jasa, atau barang dan jasa tertentu;
b. melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk
barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
c. penguasaan terse but dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli;
d. penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan kriteria yang digurrakan untuk membuktikan ada atau
tidaknya monopoli yang dilarang tersebut didasarkan pada
a. produk barang, jasa, atau barang dan jasa tersebut
belum ada penggantinya (substitusinya);
b. pelaku usaha lain sulit atau tidak dapat masuk ke
dalam persaingan terhadap produk barang, jasa, atau barang dan jasa yang sama (barrier
to entry);
c. pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang
mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan;
d. satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha telah
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari suatu jenis produk barang atau jasa
terrentu. Dengan demikian, tidak semua kegiatan penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tergolong pada kegiatan yang dilarang,
terkecuali sepanjang memenuhi unsur-unsur dan kriteria monopoli yang disebutkan
dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, jika pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha dapat membuktikan sebaliknya-yaitu kegiatan yang
dilakukannya tidak memenuhi unsur-unsur dan kriteria Pasal 17 Undang-Undang
Nornor 5 Tahun 1999-maka pelaku usaha atau kelornpok usaha tadi dengan
sendirinya dapat terbebas dari kegiatan yang patut diduga atau dianggap sebagai
monopoli.
Monopsoni
Kegiatan monopsoni terrnasuk kegiatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha oleh Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1999. Monopsoni aalah situasi di mana hanya ada satu pelaku atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang
besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal sementara itu, pelaku usaha-m.u
kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan, bahkan
mengendalikan, tingkat harga yang diinginkannya. Kegiatan yang demikian dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
dan apabila pembeli tunggal yang dimaksud juga menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar dari satu jenis produk barang atau jasa tertentu. Dasar larangan kegiatan
monopsoni ini dinyatakan dalam Pasal18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
berbunyi
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal aras barang dan/atau jasa dalarn pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa suatu kegiatan pelaku usaha akan dikatakan sebagai kegiatan
monopsoni bila memenuhi persyararan di bawah ini :
a. dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha atau yang bertindak sebagai pembeli tunggal;
b. telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu;
c. paling penring, kegiatan tersebut rnengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Walaupun secara teoretis monopsoni dapat tumbuh secara alamiah-karena
kondisi geografis suatu wilayah produksi yang terpencil dan terasing-atau bisa
juga terpencar, terapi di Indonesia monopsoni terjadi karena pengaruh kebijakan
pemerintah yang dinyatakan dalam peraturan. Contoh gamblang yang pernah terjadi
di Indonesia adalah BPPC yang pernah bertindak sebagai pembeli tunggal atas
seluruh produk cengkeh yang dihasilkan seluruh petani di tanah air. Selain iru
ia juga bertindak sebagai penjual tunggal produk itu kepada para pengusaha
rokok yang bertindak sebagai pembeli. Tindakan BPPC seperti ini jelas
menimbulkan praktik monopsoni.
Penguasaan Pasar
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan
penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha
lain. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 rnerumuskan pengertian
pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan
barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiaran, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu
unruk rnelakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau
jasa pada pasar bersangkuran; atau
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu. Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa
kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat, yaitu
a. menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi
pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungaa usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan
penjualan barang, jasa, atau barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu.
Dumping
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiaran dumping.
Larangan praktik dumping ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang
dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat
rendah dengan maksud untuk menyikirkan atau mernatikan usaha pesaingnya di
pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut,
pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang, jasa, atau barang dan jasa
dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah (dumping) dari
harga produksi barang, jasa, atau barang dan jasa yang sejenis dengan maksud untuk
menyikirkan atau mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya di pasar yang sama;
kegiatan tersebut dengan sendirinya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak sehat. Dalam
kamus Hukum Ekonorni ELIPS (1997:54) dumping diartikan sebagai praktik
dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual barang , jasa, atau barang dan
jasa di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau
lebih rendah Dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau dari pada
harga jual kepada negara lain. Dengan kata lain, dumping adalah kegiatan
dagang yang dilakukan produsen pengekspor yang dengan sengaja banting harga
dengan cara menjual rugi atau menjual dengan harga lebih murah dibandingkan
harga jual dalam negeri atau di negara lain, dengan harapan dapat mernatikan usaha
pesaing di pasar yang bersangkutan, Praktik dagang yang demikian dianggap
sebagai praktik dagang yang tidak sehat dan sekaligus bisa mendatangkan
kerugian pelaku usaha sejenis di negara pengimpor. Oleh karena itu, beberapa
negara, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Masyarakat Eropa telah
melarang praktik dagang dumping (antidumping) ini dalam peraturan
perundang-undangan nasionalnya.
Manipulasi Biaya
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 me1arang pe1aku
usaha untuk me1akukan kecurangan dalam rnenetapkan biaya produksi dan biaya
lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/arau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dari ketentuan Pasal 21 ini,
pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan memanipulasi biaya produksi dan biaya
lain yang nantinya akan diperhitungkan sebagai salah satu komponen harga
barang, jasa, atau barang dan jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen,
sehingga dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha yang tidak sehat atau
merugikan masyarakat. Penjelasan Pasa121 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa indikasi biaya yang dimanipulasi terlihat dari harga yang
lebih rendah dari harga seharusnya. Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya ini bukan saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
tetapi juga melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku lainnya. Pelanggaran
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, misalnya, bisa melanggar
Undang-undang Perpajakan, karena konsekuensi penetapan biaya produksi dan biaya
lainnya dalam menentukan harga barang dan/atau jasa yang dilakukan secara curang
akan menimbulkan pengaruh terhadap jumlah besar atau kecilnya pajak yang harus
dibayar.
Persekongkolan
Pelaku
usaha juga dilarang melakukan kegiaran persekongkolan yang mernbatasi atau menghalangi
persaingan usaha (conspiracy in restraint ofbusiness), karena
kegiatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat. Pengertian persekongkolan atau konspirasi dikemukakan dalam Pasal 1
angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu bentuk kerja sama yang
dilakukan oleb pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersengkongkol. Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan
dengan adanya perjanjian, tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lain yang tidak
mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian. Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan
persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 . Dalam Pasal 22 dinyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau
menentukan pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat. Pihak lain di sini tidak terbatas hanya pernerintah saja, bisa
swasta atau pelaku usaha yang ikut serta dalam tender yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 22 menyarakan bahwa tender adalah tawaran untuk mengajukan
harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau
untuk menyediakan jasa. Kegiatan bersekongkol rnenentukan pemenang tender jelas
merupakan perbuatan eurang, karena pada dasarnya (inherently) tender dan
pemenangnya tidak diatur dan bersifat rahasia (walaupun ada tender yang
dilakukan seear.a terbuka) . Pasal 23 melarang pelaku usaha untuk bersekongkol
dengan pihak lain untuk rnendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklafisikasikan sebagai rahasia perusahaan atau yang dikenal dengan sebutan
rahasia dagang. Sebutan rahasia dagang merupakan terjemahan dari istilah "undisclosed
information", "trade secret", atau "know
how". Rahasia dagang tidak boleh diketahui umum, karena selain
mempunyai nilai teknologi. la juga mempunyai nilai ekonomis yang berguna dalam
kegiatan usaha. Kerahasiaannya biasanya dijaga oleh pemiliknya.
Penegakan Hukum Persaingan Usaha
a. Peranan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha
Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya
peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat
lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk
melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim
dilakukan oleh kebanyakan negara. Demikian
pula yang terjadi di Indonesia. Penegakan hukum persaingan diserahkan kepada
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di samping kepolisian, kejaksaan, dan
peradilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih
dahulu dalam dan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah itu, tugas
dapat diserahkan kepada penyidik kepolisian, kemudian diteruskan ke pengadilan,
jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan yang telah dijatuhkan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebenarnya, penegakan hukum persaingan usaha
dapat saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Pengadilan merupakan
ternpat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun, untuk hukum
persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antarpelaku usaha
tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum
persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang
dan/atau mengerti betul selukbeluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus beranggotakan orang-orang
yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal
ini sangat diperlukan, mengingat masalah persaingan usaha sang at terkait erat
dengan ekonomi dan bisnis.
Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara
khusus menyelesaikan kasus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
adalah agar berbagai perkara tidak bertumpuk di pengadilan. Institusi yang
secara khusus menyelesaikan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dapat
dianggap sebagai suam alternarif penyelesaian sengketa, sepanjang pengertian
alternatif di sini adalah di luar pengadilan. Di Indonesia, lembaga yang
demikian-yang seringkali dianggap sebagai kuasi yudikatif sudah lama dikenal
Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
"untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, yang selanjutnya disebut Kornisi". Kemudian dalam Pasal
34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan "pernbentukan Komisi
serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan
Presiden". Sebagai tindak lanjut, lahirlah Keputusan Presiden Nomor 75
Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dari bunyi Pasal 30 ayat
(1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, jelaslah bahwa tujuan pembentukan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah untuk mengawasi pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan
Usaha bertindak sebagai lembaga kuasi yudikatif. Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha
dengan lebih cepat, efisien, dan efektif, sesuai dengan asas dan tujuannya. Dapat
dikemukakan alasan filosofis dan sosiologis dari pembentukan lembaga Komisi Pengawas
Persaingan Usaha ini. Alasan filosofis yang dijadikan dasar pembentukannya,
yaitu dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga
yang mendapat kewenangan dari negara (pernerintah dan rakyat), Dengan
kewenangan yang berasal dari negara, diharapkan lembaga pengawas ini dapat
menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, serta sedapat mungkin
mampu bertindak independen. Adapun alasan sosiologis yang dijadikan dasar
pembentukan Komlsi Pengawas Persaingan Usaha adalah menurunnya citra pengadilan
dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkara pengadilan
yang sudah menumpuk. Alasan lain , dunia usaha membutuhkan penyelesaian yang
cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, diperlukan
suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli dalam bidang
ekonomi dan hukum; dengan demikian penyelesaian yang cepat dapat terwujud.
Tugas Kornisi Pengawas Persaingan Usaha
Tugas
Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur secara rinci dalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulangi dalam Pasal 4
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditugaskan
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti
perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan harga, pembagian wilayah,
pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian
tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri; melakukan penilaian terhadap
kegiataan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti
kegiatan-kegiaran monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan;
dan melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat, yang disebabkan penguasaan pasar yang berlebihan,
jabatan rangkap, pemilikan saham dan penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan badan usaha atau saham. Dengan demikian, pada prinsipnya fungsi
dan tugas utama Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah melakukan kegiatan
penilaian terhadap perjanjian, kegiaran usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan
yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha. Dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, di mana pelaku usaha
atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau
melakukan kegiatan yang terlarang atau menyalahgunakan posisi dominan, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha berwenang rnenjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif dengan mernerintahkan pembatalan atau penghentian
perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang, serta penyalahgunaan
posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha
tersebut. Tugas lain dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang tidak kalah
penting adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pernerintah
yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
dan menyusun pedoman dan/atau publikasi atau sosialisasi yang berkaitan dengan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Terakhir, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha bertugas memberikan laporan secara berkala atas hasil kerjanya
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Nantinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
sangat diharapkan bisa benar-benar bertindak proaktif untuk mempengaruhi kebijakan
Pemerintah dalam pernbuatan peraturan yang berkaitan dengan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Seandainya pasal-pasal yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memadai untuk menunjang tugas dan wewenangnya,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengajukan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenangnya. Demikian
pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga hams membuat pedoman (guideline) atau
aturan main yang jelas, baik bagi diri sendiri maupun bagi pelaku usaha,
misalnya bagaimana prosedur dan proses beracara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha
dan apakah ketentuan-kerentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 cukup memadai. Jika tidak memadai, Komisi Pengawas Persaingan Usaha hams
mernbuat sendiri pedoman beracara tersebut.
wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha memiliki sejumlah kewenangan, sebagaimana dikemukakan secara rinci dalam
Pasal 36 dan Pasal 47 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha tidak hanya berwenang menerima laporan dari masyarakat dan/atau
pelaku usaha tencang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat, tetapi proaktif berwenang melakukan penelitian, melakukan
penyelidikan dan/atau pemeriksaan, menyimpulkan hasilnya, memanggil pelaku
usaha, memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan penyidik,
merninta keterangan dari insransi pemerintah, mendapatkan dan meneliti serta
menilai dokumen dan alar bukti lain, memutuskan dan menetapkan, serta
menjatuhkan sanksi tindakan administratif. Kewenangan yang diberikan kepada
Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 eukup
luas dan terinci dan tidak jauh berbeda dengan kewenangan- kewenangan yang dimiliki
oleh Komisi di negara lain. Namun demikian, ada kewenangan yang dimiliki oleh
Komisi negara lain tetapi tidak dimiliki oleh Komisi Indonesia, yaitu kewenangan
untuk mengajukan suatu perkara yang berkaitan dengan praktik monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat ke pengadilan. Kewenangan seperti ini
dimiliki oleh Federal Trade Commission, di mana Federal Trade Commission dapat
memasukkan gugatan perdata pada pengadilan distrik atau federal untuk
rnernperta hankan prosedur atau putusan administrasi yang telah ditempuhnya dalam
menangani suam perkara persaingan usaha. Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan
Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan
usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha ridak sehat; .
c. melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap
kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh
Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan
tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi , saksi ahli, dan
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud humf e .dan f
pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. meminta keterangan dari instansi pernerintah dalam
kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini;
i. mendaparkan, meneliti dan/arau menilai surat, dokumen,
atau alar bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
J. memutuskan dan menerapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakar;
k. mernberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha
yang diduga melakukan praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak sehat;
1. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Dari rugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut,
dapat diketahui bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha diberi wewenang khusus
untuk menjaruhkan sanksi berupa rindakan administratif saja, terrnasuk
menjatuhkan ganti kerugian dan denda; ia tidak mempunyai hak menjaruhkan sanksi
denda pengganri, apalagi sanksi pidana pokok dan tarnbahan, yang merupakan
wewenang badan peradilan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga tidak bertindak
sebagai penyidik (khusus) yang dimungkinkan oleh Kirab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, padahal keanggoraan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terdiri dari
orang-orang yang memiliki integriras kepribadian dan keilmuan yang ringgi.
Tata Cara Penanganan
Perkara Penegakan Hukum Persaingan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur rata
cara penanganan perkara penegakan hukum persaingan usaha pada Pasal 38 sampai
dengan Pasal 46. Dalam menangani perkara penegakan hukum persaingan usaha,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukannya secara proaktif atau dapat menerima
pengaduan atau laporan dari masyarakar. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 menyarakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan pemeriksaan
terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ini walaupun tidak ada laporan-yang pemeriksaannya
dilaksanakan sesuai rata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39. Sebelumnya,
dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap orang
yang rnengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat rnelaporkannya
secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang jelas
tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan idenriras pelapor.
Demikian pula pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkan secara terrulis
kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang lengkap dan
jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan,
dengan rnenyertakan identitas pelapor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
bahan penyelidikan, pemeriksaan, dan/atau penelitian terhadap kasus dugaan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha bisa berasal dari laporan atau
pengaduan pihak-pihak yang dirugikan atau pelaku usaha; bahkan dari masyarakat
atau setiap orang yang rnengetahui
bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi
pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini bisa disampaikan kepada
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau berasal dari prakarsa Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Sebagai jaminan atas diri pelapor, Pasal 38 ayat (2)
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
untuk merahasiakan identitas pelapor, terutama pelapor yang bukan pelaku usaha
yang dirugikan.
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999' mewajibkan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan berdasarkan
laporan masyarakat, pihak yang dirugikan, atau pelaku usaha. Berdasarkan
pemeriksaan pendahuluan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam waktu (selambat-lambatnya)
30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan tersebut, akan menetapkan
perlu-tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Apabila menurut
pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan, dengan sendirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan melakukan
pemeriksaan lanjutan. Dalam melakukan pemeriksaan Ianjutan tersebut, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang dilaporkan. Selain melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat juga mendengar keterangan saksi, saksi
ahli, dan/atau pihak lain bila dipandang perlu. Informasi atau keterangan yang
diperoleh dari pelaku usaha yang dilaporkan yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan
wajib dijaga kerahasiaannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dalam
melakukan kegiatan pemeriksaan di atas, anggota Komisi Pengawas Persaingan
Usaha wajib rnelengkapi diri dengan surat tugas. Menurut Pasal 4 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, selama penyelidikan atau pemeriksaan lanjutan
berlangsung, pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diperiksa mempunyai kewajiban
menyerahkan alat bukti yang diperlukan dan dilarang menolak untuk diperiksa,
dilarang menolak memberikan informasi yang diperlukan, dan dilarang menghambat
proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Oleh karena itu, bila pelaku usaha menolak diperiksa atau
memberi informasi yang diperlukan oleh Komisi, ia akan diserahkan kepada
penyidik untuk disidik sesuai ketentuan yang berlaku. Kalau kasusnya sudah
sampai pada penyidik, yang menangani
tidak lagi hanya pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha, terapi
juga pihak kepolisian. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyerahkan kasus
tersebut kepada penyidik untuk disidik. Tidak hanya perbuatan atau tindak
pidana (menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam
penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau
pemeriksaan) saja yang disidik; pokok perkara yang sedang diselidiki atau
diperiksa oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha pun mendapat perlakuan sama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar