Kamis, 28 Maret 2013

Hukum Persaingan Usaha

PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

Masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan batasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut.

Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur persaingan dan anti monopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pernerintah. Pernah suatu ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 menelurkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Anti monopoli. Demikian pula Departernen Perdagangan yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan. inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa-rnasa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha.


Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu:
1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli;
2. Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3. Untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.

Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi.

Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. 

Lebih ironis lagi, perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah. Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing, ini mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama semuanya rneletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi pernbuatan undang-undang yang sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan dibentuk pada umumnya ini telah terjadwal di antara Indonesia dengan IMF.

Di samping merupakan tuntutan nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis Antar bangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi) kita mernang sama sekali menolak prakrik-praktik monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antar bangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis antar bangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya. Para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the state 0/competition) dalam pasar domestik merupakan hal yang sangat penting dari suatu kebijakan publik (public policy), khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan dari kebijakan persaingan nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam kerangka ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan" (promotion) dari kondisi persaingan dan "kebebasan memilih"  untuk mengurangi dan melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan negara untuk mengembangkan dan memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super national ofregionalstandards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus mengembangkan apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy Requirements Within the Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN Doktrin yang berlaku pada masa lalu, yang secara absolut menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded, yang dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar menumbuhkan perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international dimension of antitrust and the fit between competition policy and the world trading system. Dalam kerangka ini, muncul antitrust family (international) linkages ofmarket economies. Beberapa negara sudah mengatur rambu-rambu persaingan usaha yang sehat dalam hukum nasional masing-masing. Amerika Serikat untuk pertama kali pada tahun 1890 telah mengatur persaingan usaha yang sehat dalam Act to Protect Trade and Commerce Against Unlawful Restraints and Monopolies (Sherman Act), yang beberapa kali telah disempurnakan, terakhir dengan Robinson Patrnan Act tahun 1936. Demikian pula di ]epang, untuk pertama kali pengaturan persaingan usaha dituangkan dalam Shiteki dokusen no kinshi oyobi kosei torihiki ni kansuru horitsu (Law concerning the prohibilition ofprivate monopoly andpreservation of fair trade), yang beberapa kali mengalami perubahan. Bagi negara ]erman, pengaturan persaingan usaha dapat dijumpai dalam Act to Unfair Competition 1909. Negara Filipina juga telah mengatur persaingan usaha ini dalam Penal Code-nya.
PERJANJIAN YANG DILARANG
1.    Perjanjian Penetapan Harga
Perjanjian Harga Horizontal (Price Fixing)
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Berdasarkan kerentuan Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku usaha dilarang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa yang akan diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture), contohnya PT X dan PT Y mengadakan suatu usaha patungan dengan mendirikan PT A, di mana PT X dan PT Y diperkenankan untuk menentukan sendiri besarnya harga jual barang yang diproduksi PT A tersebut;
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku, contohnya penentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh Pemerintah.

2. Diskriminasi Harga Dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebur menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu hams membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang hams dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu hams membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang hams dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha. Pada pasar tertentu, produsen dapat menetapkan harga yang mungkin menghasilkan laba yang jauh lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen hanya rnenetapkan satu harga untuk semua konsumen. Strategi penetapan harga yang berbeda 'ini juga dapat merusak persaingan usaha. Salah satunya menerapkan diskriminasi harga.

3.        Perjanjian Pembagian Wilayah
Perjanjian price fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga. Cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran barang atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, pertama, pelaku usaha dapat membagi pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan atau konsumen dan ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis produk yang Dikeluarkan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market allocation), baik yang bersifat vertikal atau horizontal. Dalam Pasal9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika isi perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran ata alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan/atau jasa, di mana perjanjian itu dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran di sini dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia, misalnya provinsi, kabupaten/kota, atau wilayah regional yang lain. Membagi wilayah. Pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu. Perjanjian seperti ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Dari .ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh karena itu perjanjian yang demikian hanya dilarang apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

4.      Pemboikotan
Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian untuk melakukan pemboikotan (boycott). Pemboikotan ini merupakan perjanjian horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang rnenetapkan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lainuntuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian dengan pelakuusaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain, sehingga perbuatan tersebur
a. merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain ; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan. Pernboikotan seperti yang diatur dalam Pasal 10 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain.

5. Kartel
Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama di antara mereka. Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan yang memgikan mereka sendiri . Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama berlaku sebagai monopolis. Dalam praktikriya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai tingkar produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran, dan sebagainya , yang kemudian melahirkan kartel, yang dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan kartel (carte/) sebagai "persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli". Dengan demikian, kartel rnerupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang rnenetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang berinaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suam barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

6.      Trust
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian trust, yang melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam Pasal 11. ini dinyatakan: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang dilarang adalah perjanjian untuk rnelakukan kerja sama dengan cara membentuk apa yang dinamakan trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi, dengan rujuan menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, dan dengan sendirinya akan dapat menciptakan monopolisasi; dengan demikian pasar menjadi tidak kompetitif lagi, sebab di antara pelaku usaha tidak ada persaingan usaha lagi.

7.      Oligopsoni
Demikian pula pelakir usaha dilarang membuat perjanjian oligopsoni, di mana keadaan pasar yang permintaannya dikuasai oleh pelaku usaha tertentu. Larangan ini dicantumkan dalam -Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersarna-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian dan/arau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (riga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian, berdasarka ketentuan Pasal 11 tersebut, dapat disimpulkan yang terkena larangan membuat perjanjian oligopsoni adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan:
1. secara bersama-sarna;
2. menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
3. dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang dan jasa dalam pasar yang bersangkutan;
4. menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam kalender tertentu;
5. perjanjian yang dibuat tersebut ternyara dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti perjanjian oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang tidak menimbulkan monopolisasi dan/atau tetap menciptakan pasar kompetiif dan/atau tidak merugikan masyarakat.

8. Integrasi Vertikal
Praktik integrasi vertikal yang dilakukan beberapa pelaku usaha termasuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mernbuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertenru yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Dari ketencuan Pasal 14 ini jelas bahwa yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah penguasaan produksi atas sejumlah produk, yang termasuk dalam. rangkaian proses produksi atas barang tertentu, mulai dari hulu sampai hilir, atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Meskipun praktik integrasi vertikal ini dapat menghasilkan barang dan/atau jasa dengan harga murah, hal itu dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, praktik integrasi vertikal dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan /atau merugikan masyarakat. Dengan adanya Pasal 14 ini, berbagai bidang usaha yang mungkin sangat menguntungkan dan efisien dilakukan di Indonesia justru tidak dapat dikerjakan. Integrasi vertikal suatu usaha tidak selalu buruk, malah sebenarnya usaha integrasi dilakukan
untuk meningkatkan efisiensi. Integrasi yang dilakukan di masa lalu mungkin buruk dan beberapa di antaranya merugikan masyarakat-karena dalam banyak hal integrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tertentu-sehingga merugikan kelompok masyarakat tertentu pula.

9.      Perjanjian Tertutup
Perjanjian rertutup termasuk perjanjian yang dilarang dibuat pelaku usaha. Pasal 15 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha unruk membuat perjanjian tertutup dengan pelaku usaha lainnya. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mernuat persyaratan bahwa pihak yangmenerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada ternpat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri jika perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dari Pasal 16 ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

KEGIATAN YANG DILARANG
1.      Pengertian Kegiatan
Berbeda dengan istilah "perjanjian" yang dipergunakan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dapat kita temukan suatu definisi mengenai "kegiaran". Namun demikian, jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi perjanjian yang diberikan dalam Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999, dapat dikarakan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan "kegiatan" adalah tindakan atau perbuatan hukum "sepihak" yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelak~ usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya  Dari sini jelaslah bahwa "kegiatan" merupakan suatu usaha, aktivitas, tindakan, atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya.

 Bentuk-Bentuk Kegiatan yang Dilarang
      a. Monopoli
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengertian "monopoli" dibedakan dari pengertian "praktik rnonopoli". Pengertian praktik monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu pemusatan kekuatan ekonomi oleb satu atau lebih pelaku usaba yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara itu pengertian monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan atas produksi danlatau pemasaran barang danlatau jasa tertentu oleb satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usahk. Dengan demikian, monopoli adalah situasi pasar di mana hanya ada satu pelaku usaha atau satu ke1ompok pelaku usaha yang "rnenguasai" suatu produksi dan/ atau pemasaran barang dan/arau penggunaan jasa tertentu, yang akan ditawarkan kepada banyak konsumen, yang mengakibatkan pe1aku usaha atau ke1ompok pelaku usaha tadi dapat mengontrol dan mengendalikan tingkar produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasarannya. Dari ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun. 1999 dapat disimpulkan, ternyata tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria yang disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 saja yang dilarang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha Pasal 17 Undang-Undang. Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini apabila
a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau saru kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, Monopoli yang dilarang menurut Pasal 17 ini jika monopoli tersebut mernenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a. melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
b. melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
c. penguasaan terse but dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli;
d. penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan kriteria yang digurrakan untuk membuktikan ada atau tidaknya monopoli yang dilarang tersebut didasarkan pada
a. produk barang, jasa, atau barang dan jasa tersebut belum ada penggantinya (substitusinya);
b. pelaku usaha lain sulit atau tidak dapat masuk ke dalam persaingan terhadap produk barang, jasa, atau barang dan jasa yang sama (barrier to entry);
c. pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan;
d. satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari suatu jenis produk barang atau jasa terrentu. Dengan demikian, tidak semua kegiatan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tergolong pada kegiatan yang dilarang, terkecuali sepanjang memenuhi unsur-unsur dan kriteria monopoli yang disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, jika pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dapat membuktikan sebaliknya-yaitu kegiatan yang dilakukannya tidak memenuhi unsur-unsur dan kriteria Pasal 17 Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999-maka pelaku usaha atau kelornpok usaha tadi dengan sendirinya dapat terbebas dari kegiatan yang patut diduga atau dianggap sebagai monopoli.

Monopsoni
Kegiatan monopsoni terrnasuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha oleh Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1999. Monopsoni aalah situasi di mana hanya ada satu pelaku atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal sementara itu, pelaku usaha-m.u kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak. Akibatnya, pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan, bahkan mengendalikan, tingkat harga yang diinginkannya. Kegiatan yang demikian dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan apabila pembeli tunggal yang dimaksud juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari satu jenis produk barang atau jasa tertentu. Dasar larangan kegiatan monopsoni ini dinyatakan dalam Pasal18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal aras barang dan/atau jasa dalarn pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dari bunyi ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan pelaku usaha akan dikatakan sebagai kegiatan monopsoni bila memenuhi persyararan di bawah ini :
a. dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha atau yang bertindak sebagai pembeli tunggal;
b. telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
c. paling penring, kegiatan tersebut rnengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Walaupun secara teoretis monopsoni dapat tumbuh secara alamiah-karena kondisi geografis suatu wilayah produksi yang terpencil dan terasing-atau bisa juga terpencar, terapi di Indonesia monopsoni terjadi karena pengaruh kebijakan pemerintah yang dinyatakan dalam peraturan. Contoh gamblang yang pernah terjadi di Indonesia adalah BPPC yang pernah bertindak sebagai pembeli tunggal atas seluruh produk cengkeh yang dihasilkan seluruh petani di tanah air. Selain iru ia juga bertindak sebagai penjual tunggal produk itu kepada para pengusaha rokok yang bertindak sebagai pembeli. Tindakan BPPC seperti ini jelas menimbulkan praktik monopsoni.

Penguasaan Pasar
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 rnerumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiaran, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu unruk rnelakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkuran; atau
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu
a. menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungaa usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Dumping
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiaran dumping. Larangan praktik dumping ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyikirkan atau mernatikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 tersebut, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang, jasa, atau barang dan jasa dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah (dumping) dari harga produksi barang, jasa, atau barang dan jasa yang sejenis dengan maksud untuk menyikirkan atau mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya di pasar yang sama; kegiatan tersebut dengan sendirinya dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak sehat. Dalam kamus Hukum Ekonorni ELIPS (1997:54) dumping diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual barang , jasa, atau barang dan jasa di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah Dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau dari pada harga jual kepada negara lain. Dengan kata lain, dumping adalah kegiatan dagang yang dilakukan produsen pengekspor yang dengan sengaja banting harga dengan cara menjual rugi atau menjual dengan harga lebih murah dibandingkan harga jual dalam negeri atau di negara lain, dengan harapan dapat mernatikan usaha pesaing di pasar yang bersangkutan, Praktik dagang yang demikian dianggap sebagai praktik dagang yang tidak sehat dan sekaligus bisa mendatangkan kerugian pelaku usaha sejenis di negara pengimpor. Oleh karena itu, beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Masyarakat Eropa telah melarang praktik dagang dumping (antidumping) ini dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.

Manipulasi Biaya
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 me1arang pe1aku usaha untuk me1akukan kecurangan dalam rnenetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/arau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dari ketentuan Pasal 21 ini, pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan memanipulasi biaya produksi dan biaya lain yang nantinya akan diperhitungkan sebagai salah satu komponen harga barang, jasa, atau barang dan jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen, sehingga dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha yang tidak sehat atau merugikan masyarakat. Penjelasan Pasa121 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa indikasi biaya yang dimanipulasi terlihat dari harga yang lebih rendah dari harga seharusnya. Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya ini bukan saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tetapi juga melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku lainnya. Pelanggaran Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, misalnya, bisa melanggar Undang-undang Perpajakan, karena konsekuensi penetapan biaya produksi dan biaya lainnya dalam menentukan harga barang dan/atau jasa yang dilakukan secara curang akan menimbulkan pengaruh terhadap jumlah besar atau kecilnya pajak yang harus dibayar.

Persekongkolan
Pelaku usaha juga dilarang melakukan kegiaran persekongkolan yang mernbatasi atau menghalangi persaingan usaha (conspiracy in restraint ofbusiness), karena kegiatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pengertian persekongkolan atau konspirasi dikemukakan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu bentuk kerja sama yang dilakukan oleb pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersengkongkol. Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan dengan adanya perjanjian, tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lain yang tidak mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian. Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 . Dalam Pasal 22 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pihak lain di sini tidak terbatas hanya pernerintah saja, bisa swasta atau pelaku usaha yang ikut serta dalam tender yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 22 menyarakan bahwa tender adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Kegiatan bersekongkol rnenentukan pemenang tender jelas merupakan perbuatan eurang, karena pada dasarnya (inherently) tender dan pemenangnya tidak diatur dan bersifat rahasia (walaupun ada tender yang dilakukan seear.a terbuka) . Pasal 23 melarang pelaku usaha untuk bersekongkol dengan pihak lain untuk rnendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklafisikasikan sebagai rahasia perusahaan atau yang dikenal dengan sebutan rahasia dagang. Sebutan rahasia dagang merupakan terjemahan dari istilah "undisclosed information", "trade secret", atau "know how". Rahasia dagang tidak boleh diketahui umum, karena selain mempunyai nilai teknologi. la juga mempunyai nilai ekonomis yang berguna dalam kegiatan usaha. Kerahasiaannya biasanya dijaga oleh pemiliknya. 
Penegakan Hukum Persaingan Usaha
a.     Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara.  Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Penegakan hukum persaingan diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di samping kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu dalam dan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik kepolisian, kemudian diteruskan ke pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan yang telah dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebenarnya, penegakan hukum persaingan usaha dapat saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Pengadilan merupakan ternpat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun, untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antarpelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan yang dapat dikemukakan adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul selukbeluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus beranggotakan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan, mengingat masalah persaingan usaha sang at terkait erat dengan ekonomi dan bisnis. 

Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara khusus menyelesaikan kasus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah agar berbagai perkara tidak bertumpuk di pengadilan. Institusi yang secara khusus menyelesaikan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dapat dianggap sebagai suam alternarif penyelesaian sengketa, sepanjang pengertian alternatif di sini adalah di luar pengadilan. Di Indonesia, lembaga yang demikian-yang seringkali dianggap sebagai kuasi yudikatif sudah lama dikenal Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa "untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang selanjutnya disebut Kornisi". Kemudian dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan "pernbentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden". Sebagai tindak lanjut, lahirlah Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dari bunyi Pasal 30 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, jelaslah bahwa tujuan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertindak sebagai lembaga kuasi yudikatif. Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha dengan lebih cepat, efisien, dan efektif, sesuai dengan asas dan tujuannya. Dapat dikemukakan alasan filosofis dan sosiologis dari pembentukan lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini. Alasan filosofis yang dijadikan dasar pembentukannya, yaitu dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara (pernerintah dan rakyat), Dengan kewenangan yang berasal dari negara, diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, serta sedapat mungkin mampu bertindak independen. Adapun alasan sosiologis yang dijadikan dasar pembentukan Komlsi Pengawas Persaingan Usaha adalah menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain , dunia usaha membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli dalam bidang ekonomi dan hukum; dengan demikian penyelesaian yang cepat dapat terwujud.

Tugas Kornisi Pengawas Persaingan Usaha
Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur secara rinci dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulangi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditugaskan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti perjanjian-perjanjian oligopoli, penerapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri; melakukan penilaian terhadap kegiataan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, seperti kegiatan-kegiaran monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan; dan melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yang disebabkan penguasaan pasar yang berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan saham dan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha atau saham. Dengan demikian, pada prinsipnya fungsi dan tugas utama Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah melakukan kegiatan penilaian terhadap perjanjian, kegiaran usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, di mana pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian yang dilarang atau melakukan kegiatan yang terlarang atau menyalahgunakan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha berwenang rnenjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan mernerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha tersebut. Tugas lain dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang tidak kalah penting adalah memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pernerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat dan menyusun pedoman dan/atau publikasi atau sosialisasi yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Terakhir, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertugas memberikan laporan secara berkala atas hasil kerjanya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nantinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat diharapkan bisa benar-benar bertindak proaktif untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah dalam pernbuatan peraturan yang berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Seandainya pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memadai untuk menunjang tugas dan wewenangnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengajukan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenangnya. Demikian pula Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga hams membuat pedoman (guideline) atau aturan main yang jelas, baik bagi diri sendiri maupun bagi pelaku usaha, misalnya bagaimana prosedur dan proses beracara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan apakah ketentuan-kerentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup memadai. Jika tidak memadai, Komisi Pengawas Persaingan Usaha hams mernbuat sendiri pedoman beracara tersebut.
wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki sejumlah kewenangan, sebagaimana dikemukakan secara rinci dalam Pasal 36 dan Pasal 47 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak hanya berwenang menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tencang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, tetapi proaktif berwenang melakukan penelitian, melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan, menyimpulkan hasilnya, memanggil pelaku usaha, memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan penyidik, merninta keterangan dari insransi pemerintah, mendapatkan dan meneliti serta menilai dokumen dan alar bukti lain, memutuskan dan menetapkan, serta menjatuhkan sanksi tindakan administratif. Kewenangan yang diberikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 eukup luas dan terinci dan tidak jauh berbeda dengan kewenangan- kewenangan yang dimiliki oleh Komisi di negara lain. Namun demikian, ada kewenangan yang dimiliki oleh Komisi negara lain tetapi tidak dimiliki oleh Komisi Indonesia, yaitu kewenangan untuk mengajukan suatu perkara yang berkaitan dengan praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat ke pengadilan. Kewenangan seperti ini dimiliki oleh Federal Trade Commission, di mana Federal Trade Commission dapat memasukkan gugatan perdata pada pengadilan distrik atau federal untuk rnernperta hankan prosedur atau putusan administrasi yang telah ditempuhnya dalam menangani suam perkara persaingan usaha. Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha ridak sehat; .
c. melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi , saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud humf e .dan f pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. meminta keterangan dari instansi pernerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i. mendaparkan, meneliti dan/arau menilai surat, dokumen, atau alar bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
J. memutuskan dan menerapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakar;
k. mernberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak sehat;
1. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Dari rugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut, dapat diketahui bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha diberi wewenang khusus untuk menjaruhkan sanksi berupa rindakan administratif saja, terrnasuk menjatuhkan ganti kerugian dan denda; ia tidak mempunyai hak menjaruhkan sanksi denda pengganri, apalagi sanksi pidana pokok dan tarnbahan, yang merupakan wewenang badan peradilan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga tidak bertindak sebagai penyidik (khusus) yang dimungkinkan oleh Kirab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal keanggoraan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terdiri dari orang-orang yang memiliki integriras kepribadian dan keilmuan yang ringgi. 

Tata Cara Penanganan Perkara Penegakan Hukum Persaingan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih lanjut mengatur rata cara penanganan perkara penegakan hukum persaingan usaha pada Pasal 38 sampai dengan Pasal 46. Dalam menangani perkara penegakan hukum persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukannya secara proaktif atau dapat menerima pengaduan atau laporan dari masyarakar. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyarakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini walaupun tidak ada laporan-yang pemeriksaannya dilaksanakan sesuai rata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39. Sebelumnya, dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap orang yang rnengetahui bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat rnelaporkannya secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan idenriras pelapor. Demikian pula pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat melaporkan secara terrulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan rnenyertakan identitas pelapor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan penyelidikan, pemeriksaan, dan/atau penelitian terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha bisa berasal dari laporan atau pengaduan pihak-pihak yang dirugikan atau pelaku usaha; bahkan dari masyarakat atau setiap orang yang rnengetahui
bahwa telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini bisa disampaikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau berasal dari prakarsa Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sebagai jaminan atas diri pelapor, Pasal 38 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk merahasiakan identitas pelapor, terutama pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan.
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999' mewajibkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan berdasarkan laporan masyarakat, pihak yang dirugikan, atau pelaku usaha. Berdasarkan pemeriksaan pendahuluan ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam waktu (selambat-lambatnya) 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan tersebut, akan menetapkan perlu-tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Apabila menurut pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan sendirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan melakukan pemeriksaan lanjutan. Dalam melakukan pemeriksaan Ianjutan tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Selain melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat juga mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain bila dipandang perlu. Informasi atau keterangan yang diperoleh dari pelaku usaha yang dilaporkan yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan wajib dijaga kerahasiaannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan di atas, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha wajib rnelengkapi diri dengan surat tugas. Menurut Pasal 4 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, selama penyelidikan atau pemeriksaan lanjutan berlangsung, pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diperiksa mempunyai kewajiban menyerahkan alat bukti yang diperlukan dan dilarang menolak untuk diperiksa, dilarang menolak memberikan informasi yang diperlukan, dan dilarang menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Oleh karena itu, bila pelaku usaha menolak diperiksa atau memberi informasi yang diperlukan oleh Komisi, ia akan diserahkan kepada penyidik untuk disidik sesuai ketentuan yang berlaku. Kalau kasusnya sudah sampai pada penyidik, yang menangani
tidak lagi hanya pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha, terapi juga pihak kepolisian. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik untuk disidik. Tidak hanya perbuatan atau tindak pidana (menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan) saja yang disidik; pokok perkara yang sedang diselidiki atau diperiksa oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha pun mendapat perlakuan sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar