Masa Imperium Romawi
Konsepsi Hukum Laut Internasional pertama kali muncul di Eropa
tepatnya ketika Imperium Romawi menguasai seluruh tepian Laut Tengah.
Peraturan- peraturan hukum laut yang dikemukakan oleh Rhodes pada abad II atau
III sebelum masehi sangat berpengaruh di laut tengah karena prinsip- prinsipnya
diterima dengan baik oleh orang Yunani dan Romawi. Kitab undang- undang Rhodes
yang dikeluarkan pada abad V sebelum masehi oleh orang- orang Romawi sepenuhnya
didasarkan atas peraturan hukum laut yang pernah dibuat Rhodes. Pada abad XIV
di kawasan laut tengah terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal
dengan Consolato Del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang
berkaitan dengan perdagangan. Pada bagian dunia lain dikenal kitab undang-
undang Asilka sekitar abad VII, kitab undang- undang Orelon di daerah Prancis
barat dan kitab undang- undang dari Wisby di wilayah Eropa Utara[1].
Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Romawi adalah salah satu
kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kerajaan ini terkenal memiliki
angkatan perang dan barisan pertahanan yang sangat tangguh. Karena itu,
penguasaan seluruh tepian laut tengah pada masa itu menjadi wajar. Setelah
menguasai laut tengah selanjutnya Romawi mempersilahkan kepada bangsa lain
untuk mempergunakan laut tengah secara damai. Karena dipergunakan oleh banyak
bangsa di dunia, maka laut tengah pada saat itu menjadi jalur perdagangan yang
ramai dan bebas dari bajak- bajak laut karena pengawasan dari angkatan perang
Romawi cukup ketat.[2]
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan
karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak, dengan demikian
menimbulkan suatu keadaan dimana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas
daripada gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan
Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera[3].
Masa Abad Pertengahan
Memasuki abad
pertengahan, munculah klaim- klaim yang dilakukan oleh negara- negara yang
sebelumnya merupakan bagiam dari kekuasaan Romawi. Negara- negara tersebut
minuntut penguasaan atas laut yang berbatasan dengan pantainya[4]. Negara-negara yang mucul setelah
runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut
sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan
bermacam-macam. Diawali oleh Venetia yang menuntut
sebagian besar Laut Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. suatu
tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander ke-III dalam tahun 1177. Berdasarkan
kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal
yang berlayar di sana[5].
Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan sekitarnya
dan melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan
oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut
Thyrrhenia.
Tiga Negara kecil yang mucul setelah runtuhnya Imperium
Romawi di atas hanya merupakan sebagian saja dari contoh negara-negara di
tepi laut tengah yang berusaha melaksanakan kekuasaannya atas Laut Tengah
setelah kekuasaan tunggal Romawi lenyap dengan runtuhnya Imperium Romawi.
Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut dengan laut yang
berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang bermacam-macam yang
dizaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (1) karantina
(perlindungan kesehatan), terutama terhadap bahaya penyakit pes (black plague);
(2) bea cukai (pencegahan penyelundupan); (3) pertahanan dan netralitas. Sering
terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu menyebabkan perlunya
negara yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara tentangga-tetangganya
untuk menentukan suatu daerah bebas dari tindakan permusuhan. Daerah netralitas
ini biasanya ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan negara pantai untuk
menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut dengan meriam dari
benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal mula dari teori tembakan
meriam yang akan dibahas kemudian.
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status
antar negara darripada laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim
disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan
atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan
dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara
lain menimbulkan beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah teori
yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad
pertengahan. Bortolus meletakkan dasar bagi pembagian dua daripada laut yakni
bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan diluar
itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori
ini kelak akan merupakan dasar bagi pembagian dua daripada laut yang klasik
dalam Laut Territorial dan Laut Lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan dan
sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan penguasaan
atas laut yakni: (1) pemilkan daripada laut (2) pemakiaian daripada
laut (3) yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut
internasional adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua
bagian yang dilakukan Paus Alexander XII di tahun 1493 dengan piagam yang
dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara
Portugal dan Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam
dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah
kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk
menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini yang
mulai timbul sejak jatuhnya Constatinopel (sekarang Istambul) ke tangan Turki
di tahun 1453.
Hingga saat itu perdagangan antara Timur Jauh (Asia) dan
Eropa dilakukan melalui jalan darat dan laut. Barang-barang yang berasal dari
Tiongkok, Asia Timur dan Kepulauan Hindia seperti kain sutera, batu permata,
permadani dan rempah-rempah diangkut dengan kalifah-kalifahdan kapal-kapal laut
melalui India, Persia dan Timur Tengah ke tepi Timur Laut Tengah dan dari sana
ke Venetia, Genoa dan lain-lain kota di Italia untuk kemudian disebarkan ke
tempat-tempat lain di benua Eropa.
Karena itu dalam abad pertengahan daerah sekitar Laut Tengah
merupakan pusat perdagangan antara benua Asia dan Eropa dan kota-kota di Italia
berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan yang sangat menguntungkan di
Eropa.
Lalu lintas antara kota-kota kerajaan maupun Republik di
Italian dan kota-kota di pantai Timur Laut Tengah yang merupakan “terminal”
atau tempat tujuan akhir dari kafilah-kafilah yang dating dari Timur Jauh
merupakan urat nadi dari pada kehidupan perniagaan pada masa itu. Selain yang
disebutkan di atas sebab lain yang menyebabkan dapat terus berlangusngnya
perdagangan Timur Tengah ini di tengah-tengah berlakunya perang-perang salib
adalah bahwa peperangan diabad pertengahan memang mengecualikan orang sipil
termasuk pedagang dari permusuhan apalagi warga dari republik atau kerajaan
yang tidak terlibat langsung dalam peperangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
perang-perang salib merupakan salah satu sebab penting daripada peningkatan
perdagangan dengan Timur Jauh karena mereka yang kembali dari Timur Tengah
inilah yang justru membawa kembali dan memperkenalkan barang-barang mewah dari
Timur Jauh itu ke dalam lingkungan bangsawan dan masyarakat Eropa.
Jatuhnya Istambul ke tangan Turki di tahun 1453 memperkuat
hasrat bangsa-bangsa di Eropa utnuk menemukan jalan bahkan dapat dikatakan
memaksa mereka melakukannya. Orang Portugis yang berhasil sampai ke kepulauan
Maluku melalui Samudera Atlantik, Tanjung Harapan dan India menganggap samudera
dan lautan yang mereka lalui sebagai milik mereka. Demikian pula orang Spanyol
yang sampai juga ke kepulauan Maluku melalui Samudera Pasifik setelah mengitari
bagian selatan benua Amerika menuntut samudera-samudera tersebut sebagai milik
mereka.
Dengan demikian maka Piagam yang kedua dari Paus Alexander
VI tahun 1493 yang membagi samudera-samudera dan lautan di dunia antara
Portugal dan Sapnyol dapat dianggap sebagai usaha untuk mendamaikan klaim-klaim
yang saling bertentangan di atas.menurut piagam ini segala laut dan samudera
disebelah Barat meridian (garis bujur) yang letaknya kurang lebih 400 mil laut
dari kepulauan Azores dinyatakna sebagai milik Spanyol, sedangkan yang sebelah
Timur meridian tersebut dinyatakan milik Portugis.
Pembagian laut dan samudera yang dilakukan oleh Portugal dan
Spanyol yang terutama merupakan cara untuk melarang pihak lain melakukan
pelayaran di laut dan samudera yang bersangkutan rupanya tidak pernah berlaku
di daerah lautan Utara benua Eropa di mana terdapat klaim “domino maris”
daripada kerajaan Denmark, yang selain pengaturan pelayaran juga, meliputi
perikanan dan pemberantasan bajak laut. Satu hal yang menarik klaim Denmark ini
adalah kemampuan kerajaan Denmark untuk memaksakannya terhadap pihak-pihak lain
dan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan lain seperti misalnya Inggris, Belanda
dan Perancis memang mengakui kedaulatan Denmark atas laut antara pantai-pantai
Norway di satu pihak dan Denmark serta Greenland di pihak lain.
Kerajaan Inggris masa itu terutama di bawah raja-raja dari
Skotlandia juga menganggap lautan sekitar kepulauan Inggris sebagai “dominio
maris”. Dorongan utama bagi pendirian ini adalah hasrat untuk melindungi
perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan-nelayan asing. Untuk maksud lain
raja Charles II pernah menyatakan laut diantara kepulauan Inggris (England,
Scotland, dan Ireland) sebagai “King’s Chambers” dengan cara pengukuran batas
yang menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung ke ujung kepulauan
Inggris[6].
Laut Tertutup (more clausum) lawan
laut bebas (mare liberium)
Asas kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali
dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium yang terbit di tahun
1609. buku ini yang mempunyai subjudul “on the right of the Dutch to sail to
the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur)
ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda – atau orang lain
selain orang Portugis dan Spanyol – untuk mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama raja James I dari Inggris telah
mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda utnuk menangkap ikan di dekat pantai
Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya ditujukan pada
orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran
oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh
Inggris, telah menimbulkan rekasi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti
Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “battle of
the books”
Para penulis Inggris, Potrugal dan Spanyol yang menentang
pendapat Grotius mengemukakan bahwa laut itu dapat dimiliki oleh setiap negara.
Sarjana-sarjana tersebut seperti misalnya John Shleden dari Inggris dengan
bukunya Mare Clausum (Laut Tertutup) yang membela dan mempertahankan klaim
Inggris atas Laut Utara. Demikian pula dengan sarjana Inggris lain seperti
William Wellwood dalam bukunya Abridgement of All Sea Law (1613)
menentang keras pandangan Grotius.
Tentu saja antara kedua pendapat yang ekstrim itu agak sukar
untuk diterima semua pihak dan akhirnya memang jalan kompromi yang
mempertemukan kedua pandangan tersebut yakni pada tahun 1704 seorang sarjana
hukum berkebangsaan Belanda Cornelis Von Bynkershoek dalam bukunya De
Dominia Maris Dissertatio (suatu essay tentang kekuasaan atas laut)
mengusulkan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut
dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi: “terrae
protestas finitur ubi finitur armorum vis”(kedaulatan territorial berakhir
dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut territorial
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah daratan dan perbedaan antara
pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian
sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah
“battle of the books” antara doktrin “mare liberium” dan “mare clausum”[7].
Toeri Jarak Tembakan Meriam
(Lebar Laut Territorial)
Pada tahun 1702,
byikershoek menerbitkan karyanya mengenai kedaulatan atas laut, dalam karyanya
ini menyetujui peraturan bahwa negara pesisir dapat menguasai laut sebatas
lebar perairan pantai sejauh tembakan peluru meriam pantai, yaitu kurang lebih
3 mil. Batas 3 mil ini mendapatan pengakuan luas dari para ahli hukum, juga
oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapatkan pengesahan dalam praktek
negara-negara maritim utama. Yang
menjadi soal lainnya dalam hukum laut internasional adalah apakah laut dapat
dimiliki oleh suatu negara atau tidak. Selama ini, sejarah hukum laut
internasional dua konsepsi pokok, yaitu:
a. Res Nullius, yang
menyatakan bahwa laut tidak ada yang memilikinya dan oleh karena itu dapat
diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
b. Res Communis, yang
menyatakan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia dan karena itu tidak dapat
diambil atau dimiliki masing-masing negara[8].
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang
dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur yang
berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang terpenting adalah
(1) ukuran tembakan meriam; (2) ukuran pandangan mata; (3) ukuran “marine
league”. Baru jauh kemudian ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama
dianggap ukuran lebar laut territorial yang berlaku umum. Diantara tiga ukuran
tersebut di atas yang paling banyak diperbincangkan adalah ukuran tembakan
meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang
merupakan asal mula kaedah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut
yang terbentang sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis
pasang surut.
Pada tahun 1782 dua orang sarjana hukum berkebangsaan Itali
Galiani dan Azuni mengusulkan agar lebar laut territorial suatu negara sejauh
tiga mil diukur dari pantai. Jarak tiga mil yang diusulkan ini berkaitan dengan
persoalan netralitas yang menjadi persoalan hangat pada waktu perang
Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776-1782. Pada waktu itu berkembang pendapat
bahwa perang di laut tidak boleh dilakukan dalam jarak tiga mil dari pantai
negara netral. Tampaknya jarak tiga mil ini sama dengan jarak tembak meriam
pada waktu itu. Kemudian jarak tiga mil ini mulai diterima oleh para ahli hukum
dan negara-negara. Banyak negara yang menetapkan lebar laut territorialnya
sejauh tiga mil dari pantai diukur pada waktu air laut surut. Untuk sementara
waktu sudah mulai ada kepastian tentang lebar laut territorial ini. Namun lebar
laut territorial ini tidak lama bertahan. Pada awal abad XIX beberapa negara
mulai mengklaim lebar laut territorial yang melebihi tiga mil. Hal ini
berlangsung sampai pertengahan abad XX. Masa ini boleh dikatakan sebagai puncak
perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar laut territorial. Usaha untuk
menetapkan lebar laut territorial yang saragam bagi semua negara terus
dilakukan. Mulai dari pendapat-pendapat para sarjana, kemudian disusul oleh
organisasi-organisasi internasional independent seperti ;Institute of
International Law, International Law Association, American Society of
International Law dan lain sebagainya dan akhirnya oleh organisasi
internasional yang anggotanya negara-negara seperti Liga Bangsa-Bangsa dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nemun semuanya ini tidak ada yang berhasil
menetukan lebar laut territorial[9].
Pada
tahun 1930 diadakanlah Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag
atas prakarsa dari Liga Bangsa-Bangsa. Salah satu materi hukum internasional
yang hendak dikodifikasikan adalah lebar laut territorial. Akan tetapi
Konferensi Den Haag 1930 gagal mencapai kata sepakat lebar laut territorial.
Akibatnya lebar laut territorial negara-negara tetapi tidak seragam[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar