BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah
tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah
merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya.
Oleh itu tanah sangat
dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa
diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan
kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan
masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat,
seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk
menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam,
tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi
tempat kediaman orang–orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah
dimana meresap daya – daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya
tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari
masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah
memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara
yang bersangkutan, lebih–lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Dinegara yang
rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan
tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua
non.
Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan
campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai
lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum
adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti
kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan
tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan
menyelesaikannya.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah–kaedah hukum.
Keseluruhan kaedah hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup
antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesame
manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan
perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik-baiknya.
Hal inilah yang diatur di dalam hukum
tanah adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan
kewajiban yang berkaitan erat dengan hak-hak yang ada diatas tanah. Hukum tanah
di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’, yang dapat
diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di
satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.[1]
Keadaan seperti ini tidak lepas sebagai
peninggalan atau warisan dari politik agraria Pemerintah Hindia Belanda, yang
pada dasarnya juga mempunyai alasan untuk pemisahan antara kepentingan rakyat
pribumi dan kepentingan modal asing. Hal ini dapat terlihat dari komenta Prof.
Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa dengan usaha bersama dicoba memberikan
jaminan tentang nikmat ekonomi atas tanah: syarat hidup bagi penduduk pribumi,
syarat berdiri bagi pengusaha–pengusaha perkebunan Eropa.
Terlepas dari itu, diseluruh
Indonesia kita melihat adanya hubungan–hubungan antara persekutuan hukum dengan
tanah dalam wilayahnya, atau dengan kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai
hak atas tanah – tanah itu, yang dinamakan Beschikkingsrecht. Untuk
istilah ini, beberapa sarjana memiliki beberapa perbedaan penggunaan istilah,
misalnya ‘hak pertuanan’ (Prof. Dr. Soepomo), ‘hak ulayat’ (Dr.Soekanto dan
Prof Mr.Mahadi).[2]
Hal ini membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa tanah adat atau hukum tanah
adat di Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pola hidup dalam
persekutuan masyarakat hukum adat. Tetapi masalah hukum tanah adat tidaklah
mudah adanya. Karena masih di bawah pengaruh dualisme hukum tanah yang ada
selama masa Pemerintah Hindia Belanda.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari
penjelasan tersebut diatas, maka, muncul beberapa pertanyaan, antara lain
adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang ada di Indonesia ?
2. Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adat) setelah
berlakunya UUPA 1960 ?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas membutuhkan jawaban-jawaban yang tegas. Sebab, masalah
pertanahan adalah persoalan yang cukup serius dan sensitif adanya. Artinya,
apabila persoalan pertanahan tidak mendapat perhatian di tengah-tengah
penyelenggara negara dan masyarakat, maka masyarakat akan rawan konflik. Oleh
karena itum makalah ini akan melakukan pembahasan lebih lanjut dalam bab-bab
berikut ini untuk, seraya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas
berdasarkan teori-teori dan atau dasar hukum yang berlaku di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat
masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat
tersebut mereka pergunakan sesuat dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan
dan mengolah tanah itu, para anggita persekutuan berlangsung secara tertulis.
Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus
terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat. Dengan demikian
sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan
hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.
B. Beberapa aspek Hukum Tanah Adat di Indonesia
Tanah adalah suatu hak yang
tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah adalah tempat untuk mencari
nafkah,mendirikan rumah atau tempat kediaman, dan juga menjadi tempat
dikuburnya orang pada waktu meninggal. Artinya, tanah adalah hal yang sangat
diperlukan manusia. Supaya tidak ada ketidakjelasan hak antara satu sama lain
pihak, maka diperlukanlah aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia
dengan tanah. Aturan-aturan atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan manusia dengan
tanah ini, selanjutnya disebut hukum tanah menurut hukum adat. Menurut hukum
adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas
tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan,
dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah
tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih
lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan,
hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai,
dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan
tertentu. Secara umum, Prof.Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan
dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’. Artinya, semakin besar
hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin
kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya,
hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal
hak persekutuan atau hak pertuanan :
Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat
manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya
disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat
kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas,
maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.[3]
Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak -hak
tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.
Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut
ke luar, maka persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang
berkuasa memungut hasil dari tanah itu dengan membatasi adanya orang- orang
lain yang melakukan hal yang seupa itu. Juga, sebagai suatu kesatuan
masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orang-orang dari luar masyarakat
itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah tanah masyarakat itu. dalam
arti kata para anggotanya secara bersama-sama (kolektif), mempergunakan hak
pertuanannya berupa atau dengan jalan memungut keuntungan dari tanah itu dan
dari segala makhluk hidup yang terpelihara di situ.
Masyrakat itu membatasi kebebasan berbuat
anggota-anggotanya secara perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu
dan untuk kepentingannya sendiri (kepentingan masyarakat).[4]
Sehingga, sifat sosialnya tanah itu benar-benar terjadi, berlaku dan
dipertahankan dengan jelas.
Sifat yang khusus dari hak pertuanan
atau persekutuan adalah terletak pada daya timbal-balik dari pada hak itu
terhadap hak-hak yang melekat pada orang perorangan atau individu. Semakin
memperkuat anggota masyarakat (selaku pengolah tanah) hubungan individu
tersebut dengan tanah yang tertentu itu dari pada tanah yang diliputi oleh hak
persekutuan, makin memperdalam hubungannya dengan hukum perseorangan (terhadap
tanah itu), maka makin kecillah hak yang dimiliki masyarakat terhadap sebidang
tanah itu.[5]
Bilamana hubungan perseorangan atas
tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan secata terus-menerus, maka
hak-hak masyarakat akan dikembalikan seperti sedia kala, dan hak persekutuan
atas tanah itu berlaku kembali tanpa ada gangguan. Misalnya, dapat saja diatur
agar tanah sedemikian itu menjadi bagian orang-orang miskin atau orang-orang
baru anggota persekutuan dengan ‘hak pakai’ (hak-hak sementara).[6]
Pada beberapa lingkungan hukum, maka kesadaran mengenai adanya hubungan
masyarkat dengan tanah itu terbukti dari adanya acara selamatan pada waktu yang
tetap di tempat-tempat selamatan desa tersebut di bawah pimpinan masyarakat
pada waktu akan memulai pengerjaan tanah. Sedangkan keyakinan dari adanya
pertalian yang hidup antara manusia dengan tanah itu juga dapat terlihat jelas
pada waktu diadakannya acara, seperti pesta pembersihan desa pasca panen dan
acara-acara semacam itu. Anggota-anggota masyarakat sebagai perseorangan atau
individu dapat memungut hasil dari tanah itu, dalam mayoritas lingkungann hukum
adat pada pokoknya selama penggarapan tanah itu semata-mata hanya diperuntukkan
untuk mencari nafkahnya saja, atau berikut untuk keluarganya atau kerabatnya.
Apabila anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu, misalnya
melakukan penggarapan tanah untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam
artian untuk memperkaya diri sendiri, maka mereka akan diperlukan seberapa jauh
sebagai orang-orang dari luar persekutuan, yang selanjutnya hak-hak persekutuan
yang bersifat ke luar akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali lagi di sini
dapat terlihat bahwa sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial adanya.[7]
Selanjutnya, anggota persekutuan
masyarakat itu juga memiliki hak untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu
adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai
bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut hukum adat
adalah hanya salah satu dari pada tanda-tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht
dan hanya ada pada anggota-anggota masyarakat atau tanah-tanah di
lingkungan hak pertuanan itu sendiri.
Hubungan hukum seperti dapat diwariskan.
Hak membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering kali
ini menuntut adanya dilakukan acara-acara khusus yang dihadiri oleh para tokoh
adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda-tanda tertentu yang
menunjukkan bahwa lahan atau tanah tersebut telah ada perseorangan yang sedang
mengolahnya. Hal-hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan hukum
perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukanya. Apabila hal itu tidak ada,
maka hubungan hukum antara tanah yang dibukanya dengan dirinya akan begitu
lemahnya, sehingga membuka peluang bagi pihak lain (perseorangan atau individu)
untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan yang dibukanya. Hal seperti inilah
yang akan menimbulkan permasalahan tentang tanah.
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa persoalan tanah memang rawan konflik. Kadang-kadang, setelah
selang beberapa waktu, lahan itu tidak lagi seperoduktif sewaktu baru pertama
kali dibuka. Sehingga si penggarap tanah memutuskan untuk meninggalkan lahan
tersebut dan membukan lahan yang baru di daerah persekutuan itu juga. Dalam hal
ini, maka apabila kondisi tanah atau lahan menunjukkan keterlantaran, hak
persekutuan akan kembali seperti sedia kala. Hak perseorangan menjadi hapus.
Apabila kelak yang bersangkutan berkehendak untuk membuka kembali lahan
tersebut, dia harus memulai hubungan hukumnya dari awal lagi, seperti layaknya
dahulu ia melakukannya.
Para pemimpin masyarakat adat juga
memiliki hak untuk mencabut kembali hak pakai atas tanah karena alasan-alasan
tertentu. Misalnya, apabila lahan lama telah lama ditinggalkan, atau si
penggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris, atau karena suatu
perjanjian tertentu masyarakat hukum adat, atau karena si penggarap telah
berkelakuan kurang baik terhadap persekutuan hukum. Penggarapan tanah atau
pemakaian tanah untuk menikmati hasilnya tersebut, juga berlaku bagi kepala
atau pegawai masyarakat hukum selama mereka menjabat dinas bagi kepentingan
persekutuan hukum. Tanah-tanah seperti ini sering disebut sebagai ‘tanah
bengkok’. Atau di beberapa tempat lainnya, para pemimpin persekutuan dapat saja
menikmati hasil dari tanah dengan jalan memiliki tenaga kerja yang diambil dari
sesama anggota persekutuannnya.[8]
Lebih tegasnya, ‘tanah bengkok’ yang
disebut di sini adalah sebagian dari tanah persekutuan yang diperuntukan
sebagai semacam gaji kepala desa, terlepas dari mana asal-usulnya yang lebih
tegas, tetapi secara umum diambil dari tanah persekutuan. Hak persekutuan atau
petuanan juga dapat berlaku ke luar.
Dalam hal hak persekutuan atau beschikkingsrecht
berlaku ke luar karena orang-orang di luar. persekutuan, misalnya orang-orang
dari persekutuan tetangga, hanya boleh memungut hasil dari tanah tersebut, dan
atau sudah membayar dana pengakuan di muka serta dana ganti rugi di kemudian
hari. Hak sedemikian ini, hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo
yang terbatas, biasanya dalam praktek yaitu satu kali panen saja. Dengan
kemungkinan untuk dilanjutkan lagi. Orang luar tersebut tidak akan pernah
memiliki hak untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak-hak mereka dapat saja
dibatasi oleh persekutuan dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang
berhubungan dengan tanah.[9]
Hal lain yang dapat menimbulkan konflik
di bidang pertanahan adalah karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah
persekutuan atau beschikkingsrecht. Artinya, ukuran yang digunakan dalam
bidang pertanahan menurut hukum adat adalah konstruksi yuridis yang abstrak.
Sehingga batas-batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan
yang lainnya yang bertetannga seringn kali tidaklah jelas adanya. Sehingga,
ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi
itu sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan hukum
adat tetangganya. Apabila kelak ada orang yang berkehendak untuk membuka lahan
di bidang yang adalah ‘perbatasan’ tersebut, maka konflik pertanahan antar persekutuan
hukum akan timbul dengan sendirinya. Hal yang seperti ini seharusnya tidak
terjadi apabila ada ketegasan hukum dalam bidang pertanahan. Hal lain yang
membuat aspek sedemikian itu rawan konflik , adalah karena adanya prinsip bahwa
tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid).
Artinya pada waktu terjadi perbedaa pendapat tentang kepemilikan hak antar
persekutuan hukum tentang batas-batas tanah tersebut, masing-masing persekutuan
hukum akan membela haknya dengan segala cara. Mereka tidak akan pernah
mengizinkan haknya atas tanah yang telah mereka klaim, yang mungkin telah
terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja.
Ada nilai magis-religi yang terdapat
antara tanah persekutuan dengan masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu
berlaku dengan kuat di antara mereka. Di sinilah letak perlunya peran
pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi untuk membuat peraturan yang
memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam bidang pertanahan, menghindari
konflik pertanahan di antara persekutuan hukum adat. Sekali lagi perlu
ditegaskan bahwa dalam hal beschikingsrecht, yang dimaksud adalah hak
menguasai atau memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat dari pada Prof. Van
Vollenhoven.[10]
Sehingga fungsi ke dalam maupun ke luar dapat disimpulkan sebagai hak pakai
oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan dan tanah demi kepentingan
bersama dalam masyarakat daerah persekutuan sertapersekutuan lainnya. Sementara
itu, ada juga Hak Perseorangan atau individu atas tanah. Dalam hal ini ada
beberapa hak perorangan atau individu dalam tertib hukum masyarakat
persekutuan, antara lain adalah:
Hak milik atas tanah: yaitu
hak yang dimiliki oleh anggota persekutuan terhadap hak ulayat. Pada dasarnya,
yang bersangkutan belum mempunyai kekuasaan penuh atas tanah yang dimilikinya
atau dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa menguasainya secara bebas,
karena hak milik ini masih mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial dimaksud akan
terlihat dengan jelas dan dibahas lebih lanjut dalam pokok bahasan berikutnya.
Sehingga, jika seandainya persekutuan
Sewaktu-waktu membutuhkan tanah itu, maka hak milik dapat menjadi
hak persekutuan kembali. Di Bali, hal seperti ini dikenal dengan istilah kelakeran.
Hak menikmati: yaitu hak yang diberikan persekutuan pada seseorang untuk memungut
hasil dari tanah tersebut untuk satu kali panen saja. Hak ini mirip dengan hak
yang dinikmati oleh orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah persekutuan.
Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan tidak dituntut untuk membayar
biaya atau ganti rugi tertentu. Hak yang dibeli: yaitu hak yang diberikan pada
seseorang untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang lain. Hal ini
terjadi karena yang membeli itu adalah sanak saudara dari si penjual, atau
tetangganya, atau berasal dari satu anggota persekutuan yang sama.
Hak memungut hasil karena jabatan: yaitu
hak yang diberi pada seseorang atau individu yang sedang memegang jabatan
tertentu di dalam persekutuan hukum adat tersebut, dan hak itu tetap ia miliki
selama memegang jabatan yang dimaksud. Seperti yang dibahas sebelumnya, ‘tanah
bengkok’ di Jawa merupakan suatu contoh konkrit tentang hak ini. Hak pakai:
yaitu hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengambil hasil dari sebidang tanah.
Misalnya, di Minang ada hak atau sawah pusaka, sedang anggota-anggota
persekutuan mempunyai hak pakai atas tanah-tanah bagian sawah pusaka yang
dibagikan untuk mereka untuk dipungut hasilnya yang sering disebut ganggam
bauntuiq, dimana anggota-anggota persekutuan juga mempunyai hak pakai atas
tanah kerabat yang tidak dapat dibagi-bagi, dan tokoh-tokoh hukum adat setempat
yang serupa dengan itu.[11]
Hak gadai dan hak sewa: yaitu hak-hak yang timbul karena
perjanjian atas tanah. Hak gadai dari si pemegang gadai, juga haknya seseorang
yang menyewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dahulu. Hak raja: yaitu
hak yang diberikan pada raja untuk memungut hasil karena kedudukannya.
C. Kedudukan Hukum Tanah Adat dan agraria Indonesia dalam penanggulangan
permasalahan pertanahan.
Dalam banyak peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki
sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang
nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat
memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan
bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan
oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif,
aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern
dewasa ini. Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat
bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam
bidang hukum tanah adat.
Ada banyak perbedaan prinsip antara
hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat
menimbulkan konflik yang cukup serius. Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan
landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga
hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas
tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara , yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam undang-undang ini , dan denga peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang bersandar
pada hukum agama.”[12]
Lebih dari pada itu, dalam mukadimah
UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional,
yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, denga tidak mengabaikan
unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.[13]
Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme
hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai
landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perli diingat bahwa hukum agraria
nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan
hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan
hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara,
dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan
adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam
lapangan hukum tanah adat. Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita
dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,
SH bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah
yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas) , pro kepada
kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur
agama.[14]
Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya,
benar-benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat
penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
Hukum agraria nasional tidak hanya
tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan
lainnya yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian ataupun transaksi-transaksi
yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian , Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960
tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat
dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh
peraturan perundang -undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Bahkan
dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan
pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa
pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat,
dan lain-lain yang hidup dalam masyarakat .[15]
Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan
hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang
berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian
kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal
ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar.
Hukum tanah adat yang dibahas dalam
pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan
tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.[16]
Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk
menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum
tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari
peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan
atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya. Oleh karena itu,
prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan bahwa segala
kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan
masyarakat.
Tanah tidak diperkenankan semata-mata
untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya
dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan
yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan
negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling imbang
mengimbangi, atau adil adanya. Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian
hukum bidang pertanahan adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat.
Pasal 19 UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah.[17]
Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas
yang jelas. Untuk kondisi pertanahan di Indonesia yang sebelumnya banyak
dipengaruhi oleh hukum Eropa dan hukum tanah adat, cara yang agaknya memenuhi
syarat tersebut ialah sistem buku tanah.
Penyelengaraan tugas tersebut dibebankan
kepada instansi Agraria bagian Pendaftaran tanah dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai landasan hukum
pelaksanaan penyelenggaraan Pendaftaran Tanah. Beberapa hal yang harus ditarik
kepada perhatian kita, antara lain adalah bentuk pendaftaran tanah untuk
menjamin kepastian hukum hak atas tanah di dalam UUPA adalah bentuk suatu
kadaster hukum. Pendaftaran tanah yang dapat menjamin kepastian hukum dari hak
atas tanah dengan sepenuhnya bila memenuhi syarat, yaitu:
a. Peta-peta Pendaftaran Tanah yang dibuat membuktikan batas-batas
bidang tanah yang ditetapkan di dalamnya sebagai batas-batas yang sah menurut
hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah Pendaftaran Tanah dengan kekuasaan
bukti.
b. Daftar-daftar umum yang diadakan dalam rangka pendaftaran hak
membuktikan pemegang hak yang terdaftar di dalamnya sebagai pemegang hak yang
sah menurut hukum. Syarat ini berkaitan dengan masalah sistem pendaftaran hak
atas tanah.
c. Setiap hak atas tanah serta peralihannya didaftar dalam daftar
umum, sehingga daftar-daftar itu memberikan gambaran yang lengkap yang sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya dari hak-hak atas tanah. Syarat ini berkaitan
dengan masalah arti pendaftaranbagi peralihan hak.[18]
Di sini dapat kita lihat bahwa pensertifikatan tanah mempunyai kecendrungan atau
tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu :
a. Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana
dimaksudkan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria.
b. Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian.
D. Hukum Tanah Adat setelah berlakunya UUPA
Seperti yang telah dijelaskan dalam
konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada
Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa
Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi. Dalam
Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini
dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini
menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas
berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing.
Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi
juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah
Barat.
Setelah berlakunya ketentuan
tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh
persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada
masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan
tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan
masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga
masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan
ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah. Mengenai hal tersebut dapat
dilihat dalam beberapa ketentua dari UUPA, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (4) “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.”
b. Pasal 3 “ Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan
2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang
lebih tinggi.
c. Pasal 22 ayat (1) “Terjadinya hak milik menurut hukum adat
diatur dengan peraturan Pemerintah.” Seperti yang telah disebutkan di atas,
bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan.
Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat,
tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan.
Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak
ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak
lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat
masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam
kenyataan di masyarakat masih ada. Andaikata karena terjadinya proses
individualis sering hak ulayat ini mulai mendesak, yang memberikan pengakuan
secara khusus terhadap hak-hak perorangan. Dengan tumbuh dan kuatnya hak-hak
yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya
hak ulayat.
Hak ulayat ini diakui oleh Pemerintah
sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu untuk membuat
adanya hak ulayat baru. Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah
hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan
negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan Peraturan-peraturan lainya. Selain itu ada juga
perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya
UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah
sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu sebabnya sampai
dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual
beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah
hak oleh penjual kepada pembeli. Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal
daluarsa. Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas
tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat
atua kepala adat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun tidak
dikerjakan/ditanami kembali ditutul belukar dapat diberi peruntukan lain/baru kepada
pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan tanah itu telah kembali kepada hak
ulayat desa. Dalam perjalan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya
dimaksud digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi
untuk menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin
itu, bertambah kuat hak melekat di atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak
milik. Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya didaftarkan
dan dikenakan pajak hasil bmi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak menentukan
hak atas suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan penguasa
tanah secara tidak langsung dipotong dokumentasi/administrasi perpajakan serta
pembayaran pajak tersebut.
Sejak berlakunya UUPA,
keadaannya menjadi lain, akibat adanya ketentuan konversi dan politik hukum
agraria yang merubah stelel lama. Perubahan lainnya terlihat juga di dalam
pelaksanaan pembukaan tanah. Menurut Pasal 46 UUPA, hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Di dalam peraturan tersebut telah
digariskan beberapa ketentuan mengenai hak membuka tanah ini sebagai berikut :
1. Pasal 6 “Gubernur Kepala Daerah memberikan keputusan mengenai
izin untuk membuka tanah, jika luas tanahnya lebih dari 10 ha tetapi tidak
melebihi 50 ha.”
2. Pasal 10 “Bupati/Walikota kepala Daerah memberikan keputusan
mengenai izin untuk membuka, jika luasnya dari 2 ha tetapi tidak lebih dari 10
ha.”
3. Pasal 11 “Kepala Keamana memberikan keputusan mengenai izin
membuka tanah jika luasnya lebih dari 2 ha dengan memperhatikan pertimbangan
kepala desa yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu.”
Dari ketentuan tersebut
diatas, kelihatan mengenai persoalan pembukaan tanah ini tidak lagi dikaitkan
dengan Hukum Adat tetapi sudah dipandang sebagai suatu kewenangan
administratif. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum tanah adat di
Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini
disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat
keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga
kiranya dengan tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan
tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya.
Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum
tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang
berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi
sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah
perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau
pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan
pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Namun, kepastian
hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka, karena
aspek penerapan prinsip konstuksi yurisdis abstrak dalam hukum tanah adat. Di
sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu
teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
bidang agraria.
Pemerintah melalui berbagai cara telah
berusaha untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah adat. Melihat
luasnya tanah yang belum terdaftar dan dibandingkan dengan kemampuan aparat dan
dana yang tersedia, maka menurut perkiraan akan memakan waktu yang cukup lama
untuk dapat menyelesaikan pendaftaran tanah tersebut secara keseluruhan. Di
samping usaha-usaha Pemerintah untuk memberikan jaminan dan kepastian hak atas
tanah masih ada kekhawatiran tertentu untuk gagasan pendaftaran tanah dan
sertifikasi tanah adat, karena akan mengurangi kelestarian tanah-tanah adat itu
sendiri. Tentu saja ini tidak beralasan. Karena usaha di bidang pendaftaran
tanah jelas bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak dan demikian
juga kepada objek, sehingga dapat dihindarkan persengketaan-persengketaan yang
tidak perlu terjadi. Dengan mendaftarkan tanah adat berdasarkan peraturan
perundangan sembari memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara
nasional, sebenarnya kita telah memberikan suatu tanda kepada tanah itu, mana
yang bisa dialihkan, mana yang bisa diwariskan. Tentu saja usaha-usaha
Pemerintah untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat
yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan
pemilikan tanah.
B. Saran
Di sini dapat kita lihat bahwa pensertifikatan tanah mempunyai
kecendrungan atau tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu:
a. Adanya jamina kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat
sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang- Undang Pokok Agraria,
b. Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian.
c. Bahwa perlu lebih ditingkatkan penyuluhan dan sosialisasi serta
informasi kepada masyarakat luas akan pentingnya hak-hak atas tanah serta pendaftarannya.
d. Bahwa harus diupayakan untuk menghilangkan birokrasi yang
berbelit-belit dan ditekan sekecil mungkin segala biaya-biaya siluman yang berhubungan
dengan masalah tanah.
e. Bahwa lembaga-lembaga pengkajian dan penelitian masalah hukum
adat dan badan pemantau urusan pertanahan perlu diperbanyak keberadaannya. Semua
hal tersebut diatas dalam menyusun kebijaksanaan politis dan hukum bidang
agraria, menuntut tetap diperhatikannya hukum tanah adat yang berlaku secara
nasional.
Daftar Pustaka
- ABDURRAHMAN,SH.
Hukum Adat Menurut Perundang – Undangan Republik Indonesia;
Cendana Press; Jakarta;1984.
- AHMAD FAUZIE RIDWAN,
Prof,Dr,SH.
Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila; Dewa Ruci
Press; Jakarta; 1982
- E. Utrecht,Dr,SH.
Pengantar Dalam Hukum Indonesia; PT.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar;
Jakarta;1962
- HADIKUSUMA,HILMAN,Prof,H,SH.
Sejarah Hukum Adat Indonesia; Alumni; Bandung;1983.
…………………..Hukum Perjanjian Adat, PT; Citra Aditya Bakti;
Bandung;1993.
- KOESNADI
HARDJASOEMANTRI, Prof,Dr,SH,ML.
Hukum Tata Lingkungan; Gadjah Mada University Press; Yogyakarta; 2000
- PARLINDUNGAN,AP,Prof,Dr,SH.
Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria; Mandar Maju; Bandung;
1998
- Mr.TER HAAR BZN
Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat; Pradnya Paramita; Jakarta; 1981
- Sajuti Thalib,SH
Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau; Bina
Aksara; Jakarta; 1985
[1] Prof. Dr. Ahmad Fauzi Ridwan, SH;Hukum Tanah Adat;Dewaruci Press;Jakarta;1982;Halaman 12
[2] Prof.Dr.Ahmad Fauzi Ridwan, SH;op.cit.Halaman
26
[3] Mr.B.Ter.Haar.Bzn;Asas-asas
Dan Susunan Hukum Adat;Pradaya
Paramitha;Jakarta;1981;Halaman 71
[4] Ibid
[5] Mr. B.Ter Haar Bzn;Loc.Cit
halaman 72
[6] Mr. B. Ter Haar Bzn;Loc.Cit
halaman 73
[7] Ibid
[8] Mr. B. Ter Haar Bzn; Loc.cit halaman
78
[9] Mr. B. Ter Haar Bzn;Op Cit
[10] Sajuti Thalib,SH; Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria Di
Minangkabau;Bina Aksara;Jakarta;1985;halaman 22,23
[11] Mr. B. Ter Haar Bzn;Loc.Cit
halaman 92,93
Bandung; 1998; halaman 56.
[13]
Prof.Dr. A.P. Parlindungan, SH; Loc.cit.halaman 24.
Yogyakarta; 2000; halaman 559
Tidak ada komentar:
Posting Komentar