PENYELENGGARAAN
NEGARA
BERDASARKAN
AAUPL
Oleh
ROHANDI
010107117
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
KHAIRUN TERNATE
2011
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Penyelenggaraan Negara Berdasarkan AAUPL”
Harapan
saya semoga
Makalah ini membantu menambah pengetahuan dan referensi
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi Makalah
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena referensi yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Makalah
ini.
Ternate,
22 November 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Judul
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB
II Pembahasan
A.
Pertanggungjawaban
Pemerintah Dalam AAUPL
B.
Pengertian
AAUPL
C.
Asas-asas
dalam AAUPL
BAB
III Penutup
A.
Kesimpulan
B.
Saran
BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pergeseran konsepsi nachwachtersstaat (negara peronda) ke konsepsi welfare
state (negara
kesejahteraan) membawa pergeseran pada peranan dan aktivitas
pemerintah. Pada konsepsi nachwachtersstaat berlaku prinsip staatsonthouding,
yaitu pembatasan negara dan pemerintah dari kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat. Pemerintah bersifat pasif, hanya sebagai penjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat. Sementara itu, pada konsepsi welfare state,
pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan bestuurszorg
(kesejahteraan umum), yang untuk campur tangan (staatsbemoeienis)
dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, Artinya pemerintah dituntut untuk
bertindak aktif di tengah dinamika kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas
legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum. Akan tetapi, karena ada
keterbatasan dari asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang
terdapat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan di
atas, kepada pemerintah diberi kebebasan Freies Ermessen, yaitu
kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Freies Ermessen (diskresionare)
merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau
badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat
sepenuhnya pada undang-undang.
Dalam praktik, Freies Ermessen ini membuka peluang terjadinya
benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara. Menurut Sjachran
Basah, pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya terutama dalam mewujudkan
tujuan-tujuan negara (atau mengupayakan bestuurszorg) melalui
pembangunan, tidak berarti pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan
sikap tindak itu haruslah dipertanggungjawabkan. Artinya meskipun intervensi
pemerintah dalam kehidupan warga negara merupakan kemestian dalam konsepsi welfare
state, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan pemerintah juga merupakan
kemestian dalam negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. Konsepsi negara hukum mengindikasikan ekuilibirium antara hak dan
kewajiban.
Salah satu sarana untuk menjaga ekuilibirium adalah melalui peradilan
administrasi, sebagai peradilan khusus yang berwenang dan menyelesaikan
sengketa antara pemerintah dengan warga negara. Salah satu tolak ukur untuk
menilai apakah tindakan pemerintah itu sejalan dengan negara hukum atau tidak
adalah dengan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang layak.
B.
RUMUSAN
MASALAH
v Apakah
pemerintah telah mejalankan pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
AAUPL.
C. TUJUAN
Tujuan
penulisan makalah ini didasarkan Untuk mengetahui sejauh mana kinerja lembaga
administrasi negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Penyelenggara negara yang akuntabel
adalah kesamaan visi pencapaian cita-cita sebuah bangsa melalui mekanisme
terhormat dan prosedural yang disebut dengan konstitusional. Pelayanan publik
menggambarkan optimasilisasi potensi negara dalam memenuhi kebutuhan pelayanan,
baik barang, jasa dan administrasi. Pentingnya pelayanan publik penting
dilandasi pemahaman bahwa publik (warga Negara) memiliki hak untuk dilayani
segala kebutuhan dasarnya. Pengertian dilayani harus dimaknai sebagai kewajiban
dan tanggung jawab negara secara konstitusional untuk melindungi dan memenuhi
HAM. Maka, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak (A2UPL) menjadi rambu-rambu
bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Berdasarkan kewajiban konstitusional
negara, maka setidaknya mengandung dua unsur penting dalam kewajiban, yakni (1)
kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan (2) kewajiban
untuk berdampak (obligation to result). Kewajiban pertama mensyaratkan
negara melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu
hak Contohnya, negara melakukan pembangunan sekolah, menjamin tersedianya guru
dan fasilitas pendidikan serta mengalokasikan anggaran yang terukur. Kewajiban
kedua, mengharuskan negara melaksanakan dan memenuhi standar substantif yang
terukur Contohnya, negara membuat program dalam lima tahun ke depan seluruh
masyarakat akan memiliki akses pendidikan dasar sembilan tahun.
Undang-Undang Pelayanan Publik (UUPP)
juga mengamanatkan hadir dan berperannya Ombudsman. Sebagai lembaga negara yang
independen, Ombudsman yang kini telah diatur dalam UU No. 37 tahun 2008,
memiliki peran strategis dalam mengawasi dan mendorong penyelenggaraan
pelayanan publik yang bersih. Kita semua tentu berharap bahwa perkembangan
positif ini mampu merekayasa konstruksi kelembagaan dan manajemen penyelenggara
pelayanan publik di Indonesia yang optimal.
Penguatan kapasitas kelembagaan,
khususnya di daerah, merupakan faktor determinan yang memengaruhi struktur dan
kewibawaan institusional penyelenggara pelayanan publik. Karena pada
hakekatnya, otonomi daerah dengan di antara paketnya menghadirkan kebijakan
pemekaran daerah, adalah proses mendekatkan hubungan yang harmonis antara
rakyat dan pemerintah. Seyogianya pula mampu mewujudkan pelayanan publik yang
prima bagi masyarakat, khususnya kepada kelompok-kelompok rentan pelanggaran
HAM.
Undang-Undang Pelayanan Publik (UUPP) semakin
mempertegas posisi masyarakat dalam menuntut secara hukum terpenuhinya
pelayanan publik. Selain terbukanya peluang yustisiabilitas tersebut, UUPP
mengamanatkan adanya standar pelayanan sebagai acuan dalam menilai kualitas
pelayanan publik bagi masyarakat Indonesia. Semoga penerapan UUPP memberikan
harapan baru tegaknya negara hukum dalam bingkai tata kelola pemerintahan dan
korporasi yang bersih dan menanamkan paradigma bahwa pemerintah adalah pelayan
publik.
A.
Pertanggung
jawaban Pemerintah Dalam AAUPL (Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak)
Sejarah kelahiran AAUPL Sejak
dianutnya konsepsi welfarestate, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum warga negara dan untuk mewujudkan
kesejahteraan ini , pemerintah diberi wewenang untuk campur tangan dalam segala
lapangan kehidupan masyarakat, yang dalam campur tangan ini tidak saja berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak
tanpa bersandar pada peraturan perundang-ndangan tetapi berdasarkan pada
inisiatif freise ermessen, ternyata menimbulkan kekhawatiran dikalangan warga
negara Karena dengan freise ermessen muncul peluang terjadinya benturan kepentingan
antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam bentuk onrechmatig overheidsdaad,
detournement de pouvoir, maupun dalam bentuk willkeur, yang merupakan
bentuk–bentuk penyimpangan tindakan pemerintah yang mengakibatkan terampasnya
hak-hak asasi warga negara. Guna menghindari atau meminimalisir terjadinya
benturan tersebut
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, disebutkan bahwa secara umum kewajiban seorang penyelenggara
negara adalah :
- Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme;
- Pasal 5 ayat (5) UU No 28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, tas, dan golongan;
- Pasal 5 ayat (6) UU No 28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.
Pengertian
AAUPL
Pengertian AAUPL terhadap AAUPL
tidak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan , disamping dari segi
kebahasaan. Hal ini karena asas ini muncul dari proses sejarah. Dengan bersandar
pada kedua konteks ini, AAUPL dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang
dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang
dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan,
adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan
penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang. pengertian AAUPL sebagai
berikut:
a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang
dalam lingkungan hokum administrasi negara
b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat
administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim
administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud
penetapan/beschiking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat
c. Sebagian besar dari AAUPL masih merupakan asas-asas
yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktek kehidupan
dimasyarakat.
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hokum
tertulis dan terpencar dalam peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari
asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai
asas hukum. Kedudukan AAUPL dalam sistem hukum
Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menulis sebagai berikut Organ-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan hokum tertulis, disamping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hokum tidak tertulis yaitu asas–asas umum pemerintahan yang layak. Kemudian J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak ini berkembang setelah perang dunia kedua, yang mengatakan sebagai berikut Istilah asas-asas pemerintahan yang layak dapat menimbulkan salah pengertian. Kata asas sebenarnya dapat memiliki beberapa arti. Kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar-dasar, atau aturan hukum fundamental. Pada kombinasi kalimat “Asas Pemerintahan yang Layak“ berarti kata asas mengandung arti asas hokum, tidak lain. Asas-asas pemerintahan yang layak sebenarnya dikembangkan oleh peradilan sebagai peraturann hukum mengikat yang diterapakan pada tindakan pemerintah. Suatu keputusan pemerintah yang bertentangan dengan AAUPL berarti bertentangan dengan peraturan hokum. Meskipun asas itu berupa pernyataan yang samar tetapi kekuatan mengikatnya sama sekali tidaklah samar, karena asas ini memiliki daya kerja yang mengikat umum. Dari kedua pendapat tersebut kita dapat simpulkan bahwa kedudukan AAUPL dalam sistem hukum adalah sebagai hokum tidak tertulis. Hal tersebut berbeda dengan pendapat Philipus M. Hadjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma-norma hokum yang tidak tertulis yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Sehingga dapat dikatakan bahwa AAUPL adalah asas-asas hokum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hokum yang dapat diterapkan. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah apabila menyamakan AAUPL dengan norma hokum tidak tertulis dapat menimbulkan salah paham, sebab antara “asas” dengan “norma” terdapat perbedaan .Asas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, idea atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang konkrit, penjabaran dari ide dan mempunyai sanksi Fungsi dan arti penting AAUPL Dalam perkembangannya AAUPL memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut:
Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menulis sebagai berikut Organ-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan hokum tertulis, disamping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hokum tidak tertulis yaitu asas–asas umum pemerintahan yang layak. Kemudian J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak ini berkembang setelah perang dunia kedua, yang mengatakan sebagai berikut Istilah asas-asas pemerintahan yang layak dapat menimbulkan salah pengertian. Kata asas sebenarnya dapat memiliki beberapa arti. Kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar-dasar, atau aturan hukum fundamental. Pada kombinasi kalimat “Asas Pemerintahan yang Layak“ berarti kata asas mengandung arti asas hokum, tidak lain. Asas-asas pemerintahan yang layak sebenarnya dikembangkan oleh peradilan sebagai peraturann hukum mengikat yang diterapakan pada tindakan pemerintah. Suatu keputusan pemerintah yang bertentangan dengan AAUPL berarti bertentangan dengan peraturan hokum. Meskipun asas itu berupa pernyataan yang samar tetapi kekuatan mengikatnya sama sekali tidaklah samar, karena asas ini memiliki daya kerja yang mengikat umum. Dari kedua pendapat tersebut kita dapat simpulkan bahwa kedudukan AAUPL dalam sistem hukum adalah sebagai hokum tidak tertulis. Hal tersebut berbeda dengan pendapat Philipus M. Hadjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma-norma hokum yang tidak tertulis yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Sehingga dapat dikatakan bahwa AAUPL adalah asas-asas hokum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hokum yang dapat diterapkan. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah apabila menyamakan AAUPL dengan norma hokum tidak tertulis dapat menimbulkan salah paham, sebab antara “asas” dengan “norma” terdapat perbedaan .Asas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, idea atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang konkrit, penjabaran dari ide dan mempunyai sanksi Fungsi dan arti penting AAUPL Dalam perkembangannya AAUPL memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut:
a. Bagi Administrasi Negara, bermanfaat sebagai
pedoman dalam melakukan penafsiran dam penerapan terhadap ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang bersifat sumir , samar atau tidak jelas. Kecuali itu
sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara menggunakan
freise ermessen/ melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan.
b. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan,
AAUPL dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam
pasal 53 UU No. 5/1986.
c. Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji
dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN.
d. Kecuali itu, AAUPL tersebut juga berguna bagi badan
legiskatif dalam merancang suatu undang-undang. AAUPL di Indonesia Keberadaan
AAUPL ini belum diakui secara yuridis formal sehingga belum memiliki kekuatan
hukum formal. Akan tetapi meskipun belum memiliki sandaran yuridis formal, akan
tetapi dalam praktek peradilan terutama pada PTUN asas-asas ini telah
diterapkan. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik Indonesia,
asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang yaitu UU No.
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pembagian AAUPL terbagi dalam dua bagian yaitu :
1. Asas yang bersifat formal merupakan asas yang
berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap membuat ketetapan,
atau asas – asas yang berkaitan dengan cara-cara penngambilan keputusan.
2. Asas yang bersifat material merupakan asas-asas
yang tampak pada isi keputusan pemerintah Macam-macam AAUPL
C.
Asas-asas Dalam
AAUPL :
1) Asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang baik menjadi sumber hukum, mengontrol keputusan-keputusan hukum tata usaha
negara dan menjaga kedinamisan suatu sistem hukum. Asas kepastian hukum
memiliki fungsi ganda dalam penyelenggaran pemerintahan baik yaitu bagi
aparatur negara asas hukum berfungsi sebagai pedoman pedoman penafsiran, bagi
praktisi hukum sebagai alat uji kebenaran hukum pengadilan tata usaha negara
misalnya pungutan pajak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jika
tidak, dapat dikatakan pemerasan
Ketika membuat suatu kebijakan
harus, berdasar peraturan perundang-undangan misalkan membelanjakan uang negara
jika tidak dapat dikatakan KORUPSI
2) Asas tertib penyelenggaraan negara, asas ini
menjadi landasan keteraturan, dan keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaran
negara misalnya antara penyelenggara negara harus saling menghormati dan
menghargai guna terciptanya suasana kerja yang kondusif, Penyelenggara yang
satu dengan yang lain berjalan bersamaan guna terciptanya tujuan negara.
3) Asas kepentingan umum, asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan
kolektif. Misalnya, pemerataan pembangunan di seluruh indonesia, menampung dan
melaksanakan aspirasi rakyat,
4) Asas keterbukaan, asas yang mendasarkan bahwa
penyelenggara negara harus membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Misalnya, memberikan
informasi yang benar jika masyarakat yang memintanya, Tidak membohongi
masyarakat dengan informasi-informasi palsu, Tidak membeda-bedakan suku dan
golongan ketika memberikan informasi. Asas ini sekarang ditegaskan dalam UU No.
14 tahun 2008 ttg keterbukaan informasi publik
5) Asas proporsionalitas, asas yang
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
Misalnya, gaji anggota DPR besar karena tugas yang berat, Penyelenggara harus
benar-benar menyelesaikan tugas, karena telah dibayar gaji yang besar oleh
negara.
6) Asas profesionalitas, asas yang mengutamakan keahlian
yang berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Misalnya, seseorang yang ingin menjadi anggota TNI harus memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan dalam praturan perundang-undangan. Jabatan
kerja penyelenggara negara, disesuaikan dengan keahliannya, misalkan hukum di
bidang hukum
7) Asas akuntabilitas, asas penyelenggara negara yang
menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara harus
bisa di pertanggung jawabkan kepada masyrakat umum. Misalnya, APBN digunakan untuk
apa saja, APBD digunakan ntuk apa saja, dalam tender harus di buat terbuka dan
dapat di pertangguna jawabkan kepada masyarakat.
BAB
III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari hasil
pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a. AAUPL
merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hokum
administrasi negara
b. AAUPL
berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan
fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan
administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschiking), dan sebagai dasar
pengajuan gugatan bagi pihak penggugat
B. SARAN
Penulis
menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran baik teman-taman
mahasiswa/mahasiswi maupun dari dosen pengasuh mata kuliah Hukum Administrasi
Negara demi perbaikan makalah ini
Akhir kata semoga hasil penulisan
makalah ini dapat berguna bagi kita semua.Amin,sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar