Kamis, 21 Maret 2013

PENYELENGGARAAN NEGARA BERDASARKAN AAUPL



PENYELENGGARAAN NEGARA
BERDASARKAN AAUPL
Oleh

ROHANDI
010107117


Ukhair Baru




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Penyelenggaraan Negara Berdasarkan AAUPL”
Harapan saya semoga Makalah ini membantu menambah pengetahuan dan referensi bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi Makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena referensi yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Makalah ini.

Ternate, 22 November 2013
                                                                                                           Penulis




DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I  Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan
BAB II  Pembahasan
A.    Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam AAUPL
B.     Pengertian AAUPL
C.    Asas-asas dalam AAUPL
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Saran

 
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pergeseran konsepsi nachwachtersstaat (negara peronda) ke konsepsi welfare state (negara kesejahteraan) membawa pergeseran pada peranan dan aktivitas pemerintah. Pada konsepsi nachwachtersstaat berlaku prinsip staatsonthouding, yaitu pembatasan negara dan pemerintah dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Pemerintah bersifat pasif, hanya sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Sementara itu, pada konsepsi welfare state, pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan bestuurszorg (kesejahteraan umum), yang untuk campur tangan (staatsbemoeienis) dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, Artinya pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya setiap bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang menjadi sendi utama negara hukum. Akan tetapi, karena ada keterbatasan dari asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas, kepada pemerintah diberi kebebasan Freies Ermessen, yaitu kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Freies Ermessen (diskresionare) merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Dalam praktik, Freies Ermessen ini membuka peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara. Menurut Sjachran Basah, pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara (atau mengupayakan bestuurszorg) melalui pembangunan, tidak berarti pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan sikap tindak itu haruslah dipertanggungjawabkan. Artinya meskipun intervensi pemerintah dalam kehidupan warga negara merupakan kemestian dalam konsepsi welfare state, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan pemerintah juga merupakan kemestian dalam negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Konsepsi negara hukum mengindikasikan ekuilibirium antara hak dan kewajiban.
Salah satu sarana untuk menjaga ekuilibirium adalah melalui peradilan administrasi, sebagai peradilan khusus yang berwenang dan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negara. Salah satu tolak ukur untuk menilai apakah tindakan pemerintah itu sejalan dengan negara hukum atau tidak adalah dengan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang layak.
B.     RUMUSAN MASALAH
v  Apakah pemerintah telah mejalankan pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar AAUPL.
C.     TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini didasarkan Untuk mengetahui sejauh mana kinerja lembaga administrasi negara.

BAB II PEMBAHASAN
Penyelenggara negara yang akuntabel adalah kesamaan visi pencapaian cita-cita sebuah bangsa melalui mekanisme terhormat dan prosedural yang disebut dengan konstitusional. Pelayanan publik menggambarkan optimasilisasi potensi negara dalam memenuhi kebutuhan pelayanan, baik barang, jasa dan administrasi. Pentingnya pelayanan publik penting dilandasi pemahaman bahwa publik (warga Negara) memiliki hak untuk dilayani segala kebutuhan dasarnya. Pengertian dilayani harus dimaknai sebagai kewajiban dan tanggung jawab negara secara konstitusional untuk melindungi dan memenuhi HAM. Maka, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak (A2UPL) menjadi rambu-rambu bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Berdasarkan kewajiban konstitusional negara, maka setidaknya mengandung dua unsur penting dalam kewajiban, yakni (1) kewajiban untuk bertindak (obligation to conduct) dan (2) kewajiban untuk berdampak (obligation to result). Kewajiban pertama mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak Contohnya, negara melakukan pembangunan sekolah, menjamin tersedianya guru dan fasilitas pendidikan serta mengalokasikan anggaran yang terukur. Kewajiban kedua, mengharuskan negara melaksanakan dan memenuhi standar substantif yang terukur Contohnya, negara membuat program dalam lima tahun ke depan seluruh masyarakat akan memiliki akses pendidikan dasar sembilan tahun.
Undang-Undang Pelayanan Publik (UUPP) juga mengamanatkan hadir dan berperannya Ombudsman. Sebagai lembaga negara yang independen, Ombudsman yang kini telah diatur dalam UU No. 37 tahun 2008, memiliki peran strategis dalam mengawasi dan mendorong penyelenggaraan pelayanan publik yang bersih. Kita semua tentu berharap bahwa perkembangan positif ini mampu merekayasa konstruksi kelembagaan dan manajemen penyelenggara pelayanan publik di Indonesia yang optimal.
Penguatan kapasitas kelembagaan, khususnya di daerah, merupakan faktor determinan yang memengaruhi struktur dan kewibawaan institusional penyelenggara pelayanan publik. Karena pada hakekatnya, otonomi daerah dengan di antara paketnya menghadirkan kebijakan pemekaran daerah, adalah proses mendekatkan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pemerintah. Seyogianya pula mampu mewujudkan pelayanan publik yang prima bagi masyarakat, khususnya kepada kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM.
Undang-Undang Pelayanan Publik (UUPP) semakin mempertegas posisi masyarakat dalam menuntut secara hukum terpenuhinya pelayanan publik. Selain terbukanya peluang yustisiabilitas tersebut, UUPP mengamanatkan adanya standar pelayanan sebagai acuan dalam menilai kualitas pelayanan publik bagi masyarakat Indonesia. Semoga penerapan UUPP memberikan harapan baru tegaknya negara hukum dalam bingkai tata kelola pemerintahan dan korporasi yang bersih dan menanamkan paradigma bahwa pemerintah adalah pelayan publik.
A.    Pertanggung jawaban Pemerintah Dalam AAUPL (Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak)
            Sejarah kelahiran AAUPL Sejak dianutnya konsepsi welfarestate, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum warga negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini , pemerintah diberi wewenang untuk campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, yang dalam campur tangan ini tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak tanpa bersandar pada peraturan perundang-ndangan tetapi berdasarkan pada inisiatif freise ermessen, ternyata menimbulkan kekhawatiran dikalangan warga negara Karena dengan freise ermessen muncul peluang terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam bentuk onrechmatig overheidsdaad, detournement de pouvoir, maupun dalam bentuk willkeur, yang merupakan bentuk–bentuk penyimpangan tindakan pemerintah yang mengakibatkan terampasnya hak-hak asasi warga negara. Guna menghindari atau meminimalisir terjadinya benturan tersebut
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, disebutkan bahwa secara umum kewajiban seorang penyelenggara negara adalah :
  • Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme;
  • Pasal 5 ayat (5) UU No 28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, tas, dan golongan;
  • Pasal 5 ayat (6) UU No 28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.     Pengertian AAUPL
Pengertian AAUPL terhadap AAUPL tidak dapat dilepaskan dari konteks kesejarahan , disamping dari segi kebahasaan. Hal ini karena asas ini muncul dari proses sejarah. Dengan bersandar pada kedua konteks ini, AAUPL dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang. pengertian AAUPL sebagai berikut:
a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hokum administrasi negara
b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschiking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat
c. Sebagian besar dari AAUPL masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktek kehidupan dimasyarakat.
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hokum tertulis dan terpencar dalam peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum. Kedudukan AAUPL dalam sistem hukum
Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menulis sebagai berikut Organ-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan hokum tertulis, disamping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hokum tidak tertulis yaitu asas–asas umum pemerintahan yang layak. Kemudian J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak ini berkembang setelah perang dunia kedua, yang mengatakan sebagai berikut Istilah asas-asas pemerintahan yang layak dapat menimbulkan salah pengertian. Kata asas sebenarnya dapat memiliki beberapa arti. Kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar-dasar, atau aturan hukum fundamental. Pada kombinasi kalimat “Asas Pemerintahan yang Layak“ berarti kata asas mengandung arti asas hokum, tidak lain. Asas-asas pemerintahan yang layak sebenarnya dikembangkan oleh peradilan sebagai peraturann hukum mengikat yang diterapakan pada tindakan pemerintah. Suatu keputusan pemerintah yang bertentangan dengan AAUPL berarti bertentangan dengan peraturan hokum. Meskipun asas itu berupa pernyataan yang samar tetapi kekuatan mengikatnya sama sekali tidaklah samar, karena asas ini memiliki daya kerja yang mengikat umum. Dari kedua pendapat tersebut kita dapat simpulkan bahwa kedudukan AAUPL dalam sistem hukum adalah sebagai hokum tidak tertulis. Hal tersebut berbeda dengan pendapat Philipus M. Hadjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma-norma hokum yang tidak tertulis yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Sehingga dapat dikatakan bahwa AAUPL adalah asas-asas hokum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hokum yang dapat diterapkan. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah apabila menyamakan AAUPL dengan norma hokum tidak tertulis dapat menimbulkan salah paham, sebab antara “asas” dengan “norma” terdapat perbedaan .Asas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, idea atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang konkrit, penjabaran dari ide dan mempunyai sanksi Fungsi dan arti penting AAUPL Dalam perkembangannya AAUPL memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut:
a. Bagi Administrasi Negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dam penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat sumir , samar atau tidak jelas. Kecuali itu sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara menggunakan freise ermessen/ melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.
b. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPL dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986.
c. Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN.
d. Kecuali itu, AAUPL tersebut juga berguna bagi badan legiskatif dalam merancang suatu undang-undang. AAUPL di Indonesia Keberadaan AAUPL ini belum diakui secara yuridis formal sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Akan tetapi meskipun belum memiliki sandaran yuridis formal, akan tetapi dalam praktek peradilan terutama pada PTUN asas-asas ini telah diterapkan. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik Indonesia, asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang yaitu UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pembagian AAUPL terbagi dalam dua bagian yaitu :
1. Asas yang bersifat formal merupakan asas yang berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap membuat ketetapan, atau asas – asas yang berkaitan dengan cara-cara penngambilan keputusan.
2. Asas yang bersifat material merupakan asas-asas yang tampak pada isi keputusan pemerintah Macam-macam AAUPL
C.    Asas-asas Dalam AAUPL :
1)      Asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi sumber hukum, mengontrol keputusan-keputusan hukum tata usaha negara dan menjaga kedinamisan suatu sistem hukum. Asas kepastian hukum memiliki fungsi ganda dalam penyelenggaran pemerintahan baik yaitu bagi aparatur negara asas hukum berfungsi sebagai pedoman pedoman penafsiran, bagi praktisi hukum sebagai alat uji kebenaran hukum pengadilan tata usaha negara misalnya pungutan pajak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, dapat dikatakan pemerasan
Ketika membuat suatu kebijakan harus, berdasar peraturan perundang-undangan misalkan membelanjakan uang negara jika tidak dapat dikatakan KORUPSI
2)      Asas tertib penyelenggaraan negara, asas ini menjadi landasan keteraturan, dan keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaran negara misalnya antara penyelenggara negara harus saling menghormati dan menghargai guna terciptanya suasana kerja yang kondusif, Penyelenggara yang satu dengan yang lain berjalan bersamaan guna terciptanya tujuan negara.
3)      Asas kepentingan umum, asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif. Misalnya, pemerataan pembangunan di seluruh indonesia, menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat,
4)      Asas keterbukaan, asas yang mendasarkan bahwa penyelenggara negara harus membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Misalnya, memberikan informasi yang benar jika masyarakat yang memintanya, Tidak membohongi masyarakat dengan informasi-informasi palsu, Tidak membeda-bedakan suku dan golongan ketika memberikan informasi. Asas ini sekarang ditegaskan dalam UU No. 14 tahun 2008 ttg keterbukaan informasi publik
5)      Asas proporsionalitas, asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Misalnya, gaji anggota DPR besar karena tugas yang berat, Penyelenggara harus benar-benar menyelesaikan tugas, karena telah dibayar gaji yang besar oleh negara.
6)      Asas profesionalitas, asas yang mengutamakan keahlian yang berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, seseorang yang ingin menjadi anggota TNI harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam praturan perundang-undangan. Jabatan kerja penyelenggara negara, disesuaikan dengan keahliannya, misalkan hukum di bidang hukum
7)      Asas akuntabilitas, asas penyelenggara negara yang menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara harus bisa di pertanggung jawabkan kepada masyrakat umum. Misalnya, APBN digunakan untuk apa saja, APBD digunakan ntuk apa saja, dalam tender harus di buat terbuka dan dapat di pertangguna jawabkan kepada masyarakat.
 
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a.       AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hokum administrasi negara
b.      AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschiking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat

B.      SARAN
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran baik teman-taman mahasiswa/mahasiswi maupun dari dosen pengasuh mata kuliah Hukum Administrasi Negara demi perbaikan makalah ini
Akhir kata semoga hasil penulisan makalah ini dapat berguna bagi kita semua.Amin,sekian dan terima kasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar