TATA CARA PENGAJUAN GUGATAN KEPAILITAN
proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam pasal 6
sampai dengan pasal 11 Undang-Undang Kepailitan. Adapun Tahap-tahap yang
dilakukan untuk mengajukan Gugatan Kepailitan, yaitu :
1. Tahap Pendaftaran
Permohonan Pernyataan Pailit
Pendaftaran permohonan harus diajukan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan, yaitu:
a.
Permohonan harus diajukan oleh
seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek,
b.
Apabila diajukan oleh seorang
debitor ang menikah, maka permohonan didasarkan atas persetujuan suami atau
isterinya,
c.
Wajib membayar Panjar Biaya
perkara di Kepaniteraan sebagaimanaalazimnya suatu perkara perdata.
Permohonan mengajukan permohonan pernyataan pailit
kepada Ketua Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga dan wajib mendaftarkan
permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan
kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Pasal 6
ayat (3) UUKPKPU mewajibkan Panitera untuk menolak pendaftaran permohonan
pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat
tersebut. Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan ini pernah diajukan Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 071/PUU-II/2004
dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3)
beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara
lain :
a.
Bahwa Panitera walaupun
merupakan jabatan di Pengadilan, tetapi kepada jabatan tersebut seharusnya
hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam rangka memberikan
dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim. Dalam
Penjelasan Undang-Undang No 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera
adalah menangani administrasi perkara dan halhal administrasi lain yang
bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi-fungsi peradilan
(rechtsprekende functie), yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran
suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah (domein) yustisial. Panitera
diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial,
hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka,
serta penegakan hukum dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat 1
UUD 1945;
b.
Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui
asas hukum yang berbunyi bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini
telah dimuat dalam Pasal 22 AB yang berbunyi, de regter die weigert regt te
spreken onder voorwendsel van stilwigjen, duisterheid of onvolledigheid der
wet, kan uit hoofed van regtsweigering vervolgd worden (Rv.859 v.; Civ 4).
Terakhir asas ini dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan menggunakan tafsiran argumentum
a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan;
c.
Apabila Panitera diberikan
wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu
perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan panitera telah mengambil alih
kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan
demikian menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa
hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan
dengan due process of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi
tegaknya rule of law sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
d.
Meskipun hasil akhir atas
permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya
(niet onvantkelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya
syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2
ayat (5) undang-undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan
UUD 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
e.
Menimbang bahwa karena
penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari
pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya Penjelasan Pasal tersebut diperlakukan
sama dengan pasal yang dijelaskannya. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, panitera Pengadilan Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak
setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit,
panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling
lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.
2.
Tahap Pemanggilan Para Pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru
sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:
a.
Wajib memanggil debitor, dalam
hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank
Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan;
b. Dapat memanggil Kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh Debitor (voluntary position) dan terdapat keraguan bahwa
persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU telah terpenuhi;
c.
Pemanggilan dilakukan oleh juru
sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksan
pertama diselenggarakan.
3.
Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan pailit
Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang
cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dapat
menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam Pasal 10 ayat (1) UUK PKPU
dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum
diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri
Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
a.
Meletakkan sita jaminan
terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau
b. Menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:
c. Pengelolaan usaha debitor;
dan
d.
Pembayaran kepada kreditor,
pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitor yang dalam kepailitan merupakan
wewenang kurator.
Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan
tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditor
(Pasal 10 ayat (2) UUKPKPU). Dalam ayat (3) selanjutnya dikatakan bahwa dalam
hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan
syarat agar Kreditor Pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh
pengadilan. Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya
diperlukan apabila pemohonnya adalah Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia,
Bapepam, atau Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut
tidak diperlukan. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan
melalui panitera, yang menurut lampiran UUKPKPU pasal 5 harus diajukan oleh
seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek. Berdasarkan Surat Keputusan
Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor:
W7.DC.HT.0801/VIIII/1998/01 maka ditetapkan mengenai besarnya biaya panjar dan
biaya untuk pendaftaran perkara-perkara yang dimohonkan kepailitan adalah
sebesar Rp 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dengan perincian sebagai berikut :
- Materai 2 buah @ Rp. 2000,- :Rp. 4000,-
- Redaksi : Rp. 3000,-
- Exploit :
Rp. 1000,-
- Penyerahan Surat : Rp. 5000,-
- Administrasi : Rp. 1015000,-
- Penyampaian Panggilan/Putusan :
Rp. 3972000,-
Jumlah……………………………………………….. : Rp 5000000,-
Surat permohonan
tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau surat-surat dibuat rangkap sesuai
dengan jumlah pihak, serta ditambah 4 rangkap untuk Majelis dan Arsip.
Salinan/dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai
dengan aslinya oleh Pejabat yang berwenang/Panitera Pengadilan
Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Apabila salinan/dokumen atau surat-surat yang dibuat
di Luar Negeri harus disahkan oleh kedutaan/Perwakilan Indonesia di Negara
tersebut dan selanjutnya diterjemahkan oleh Penterjemah resmi ke dalam Bahasa
Indonesia, demikian pula terhadap Salinan Dokumen dan surat-surat yang
menyangkut kepailitan ke dalam Bahasa Indonesia. Dokumen atau surat-surat yang
harus dilampirkan untuk permohonan Kepailitan Sesuai dengan ketentuan-ketentuan
lampiran UU. Kepailitan No. 4 Tahun 1998 Pasal 1 jo Pasal 2 UUKPKPU No. 37
Tahun 2004, seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II buku ini, bahwa
kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak berikut ini:
1.
Debitor sendiri;
2.
Seorang atau lebih Kreditornya;
3.
Kejaksaan untuk kepentingan
Umum;
4.
Bank Indonesia (BI);
5.
Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM);
6.
Menteri Keuangan.
Terkait dengan proses pengajuan permohonan kepailitan
yang dilakukan oleh para pihak tersebut juga harus diperhatikan mengenai
dokumen atau surat yang harus dipenuhi atau dilampirkan yaitu sebagai berikut :
a.
Surat permohonan bermaterai
yang ditujukan kepada Ketua / Pengadilan Negeri / Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat;
b.
Izin Pengacara / kartu pengacara;
c.
Surat Kuasa Khusus;
d.
Akta Pendaftaran Perusahaan
(Tanda Daftar Perusahaan) / yayasan / asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh
kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) Minggu sebelum permohonan
didaftarkan;
e.
Surat Perjanjian utang (Loan
Agreement) atau bukti lainnya yang menunjukkan adanya utang;
f.
Perincian utang yang tidak
terbayar;
g.
Nama serta alamat masing-masing
kreditor / debitor
bagus......ilmu ini harus dipelajari khususnya mhs/praktisi hukum
BalasHapus